Cirebon, Kontroversinews | Pernyataan Maferdy Julius, suami Wakil Bupati Kuningan, terkait status Pendopo Kuningan yang diklaim sebagai bagian dari Tanah Ulayat Kesultanan Cirebon oleh Sultan Sepuh Pangeran Kuda Putih, menuai respons dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Panglima Besar Laskar Adat Kuda Putih, Raden Muhammad Yahya Jaya.
Ia menilai, komentar yang dilontarkan Maferdy justru dapat memperkeruh persoalan yang saat ini sedang dalam sorotan publik. Dalam keterangannya kepada awak media, Yahya Jaya menegaskan bahwa permasalahan di lingkungan Keraton Kasepuhan bukan persoalan sederhana, dan sebaiknya tidak ditanggapi secara sepihak tanpa pemahaman sejarah yang utuh.
“Saya minta siapa pun untuk tidak membuat narasi bebas soal konflik di Keraton Kasepuhan jika tidak memahami konteks dan sejarahnya. Penobatan Kanjeng Gusti Sultan Pangeran Kuda Putih sudah diakui secara resmi dan bahkan disaksikan oleh pejabat daerah, termasuk mantan Sekda Kuningan yang kini menjadi Bupati,” ungkap Yahya.
Ia menyayangkan jika ada anggapan bahwa Sultan tidak memiliki dasar dalam klaim atas tanah eks Pendopo Kuningan. Menurut Yahya, klaim tersebut didasarkan pada dokumen historis dan peta rincik milik Kesultanan Cirebon, yang menyatakan bahwa tanah tersebut dulunya merupakan bagian dari tanah ulayat sebelum Indonesia merdeka.
“Kesultanan Cirebon itu adalah entitas kerajaan yang telah ada jauh sebelum negara Indonesia berdiri. Maka jika ada tanah adat, itu harus dihormati sebagai warisan sejarah. Raffles, Belanda, maupun pihak penjajah lain tidak bisa serta merta menghapus jejak kekuasaan lokal yang sah,” tambahnya.
Ia juga menyinggung ketidaksesuaian status salah satu tokoh yang selama ini mengklaim sebagai Sultan Kasepuhan.
“Kami punya data, bahkan sudah ada putusan hukum, bahwa Lukman Zulkaedin bukan keturunan Sunan Gunung Jati, melainkan turunan Snouck Hurgronje. Bahkan masyarakat adat sudah menunjukkan penolakan secara terbuka di kompleks makam Sunan Gunung Jati,” tegas Yahya.
Terkait tudingan bahwa Sultan Kuda Putih ingin mengambil alih pendopo untuk kepentingan pribadi, Yahya membantah keras. Menurutnya, Sultan justru ingin mengembalikan fungsi pendopo sebagai pusat kebudayaan dan pelestarian tradisi masyarakat Kuningan.
“Beliau tidak ingin pendopo dijadikan lahan bisnis atau disewakan. Justru ingin memfungsikannya sebagai pusat kegiatan seni, budaya, dan spiritual masyarakat. Kesultanan membawa nilai, bukan sekadar simbol,” ucap Yahya.
Lebih jauh, ia mengutip PP Nomor 18 Tahun 2021 Pasal 98 Ayat 2, yang mengatur pengembalian tanah eks-swapraja kepada pihak kerajaan untuk dikelola demi kepentingan adat.
“Ini semestinya jadi bahan pertimbangan. Jangan sampai pernyataan yang tidak berdasar justru memicu ketegangan. Mari lihat niat baik Sultan sebagai upaya menjaga warisan sejarah dan budaya,” katanya.
Yahya menutup pernyataannya dengan harapan agar persoalan ini dapat diselesaikan secara arif dan bijaksana.
“Kami berharap Pemkab Kuningan dan Sultan Sepuh Pangeran Kuda Putih bisa duduk bersama, membangun sinergi demi kemajuan masyarakat dan pelestarian warisan budaya Kuningan,” pungkasnya. ***