Oleh: Boy Paku Mas
Rakyat kecil selalu menjadi tumpuan bangsa, namun justru paling sering ditinggalkan. Dari zaman kerajaan, penjajahan, hingga republik yang katanya merdeka, mereka selalu dipaksa berkorban—membayar upeti, pajak, dan pungutan demi pembangunan yang tak pernah sepenuhnya mereka nikmati.
Negara berdiri atas nama rakyat. Tapi dalam kenyataannya, yang menikmati hasilnya adalah segelintir elite. Para “wakil rakyat” hidup dalam kemewahan; rumah besar, mobil pelat merah, fasilitas istimewa. Sementara itu, rakyat antre bantuan, berebut beras murah, dan bertahan hidup dari hari ke hari.
Dalam Islam, tanggung jawab pemimpin terhadap rakyat sangat jelas. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian atas rakyat…” (HR. Bukhari). Sayyidina Umar bin Khattab bahkan berkata, “Jika seekor keledai terperosok di Baghdad, aku takut Allah akan menegurku.” Pemimpin sejati tak pernah lepas dari penderitaan rakyatnya.
Namun hari ini, kita lebih sering menyaksikan pemimpin yang abai. Keadilan sering dikalahkan oleh proyek. Amanah dikompromikan demi kekuasaan. Bahkan untuk sekadar buang air di kota pun rakyat harus membayar. Apakah ini wajah republik yang dulu diperjuangkan dengan darah dan nyawa?
Bung Hatta pernah berpesan: “Indonesia merdeka bukan untuk segelintir orang yang hidup mewah, tetapi untuk seluruh rakyat yang dahulu dijajah dan menderita.” Tapi hari ini, penjajahan seolah berganti rupa: dulu oleh bangsa asing, kini oleh kebijakan yang tak berpihak.
Kita membutuhkan keberpihakan nyata. Rakyat kecil tak menuntut istana, cukup keadilan dan kesempatan hidup yang layak. Negara harus hadir saat mereka lapar, sakit, dan terhimpit. Jika tidak, ketimpangan yang terus dibiarkan bisa menjadi bibit kehancuran.
KH. Hasyim Asy’ari mengingatkan, “Negeri akan sejahtera jika pemimpinnya jujur, ulamanya lurus, dan rakyat diberi ruang untuk hidup layak.” Kini saatnya pesan itu dihidupkan kembali—bukan hanya di mimbar, tetapi dalam kebijakan nyata.
Penulis: Pemerhati Sosial