Penulis: BOY PAKU MAS
Kontroversinews.com | Dalam kehidupan sosial yang terus bergerak dan berubah, cara seseorang berbicara sering kali mencerminkan siapa dirinya. Dari pilihan kata hingga nada suara, tercermin perubahan yang terjadi dalam hidup seseorang—baik itu dari segi materi, ilmu, maupun etika.
Uang kerap kali mengubah cara bicara seseorang. Dari yang awalnya merendah, menjadi sombong. Ilmu pengetahuan bisa mengubah ucapan biasa menjadi lebih runtut, logis, dan meyakinkan. Sementara moral akan memperhalus tutur kata, menjadikannya penuh empati dan rasa tanggung jawab.
Namun yang menarik untuk direnungkan adalah, bagaimana jika yang berubah bukan hanya harta atau ilmu, melainkan jabatan dan pangkat? Apa yang sesungguhnya diubah oleh kekuasaan?
Ketika seseorang menduduki sebuah jabatan, yang bergeser tidak hanya nada bicara, tetapi juga cara orang lain menafsirkan ucapannya. Dulu kata-katanya mungkin biasa saja, kini bisa dianggap perintah. Yang dulunya nada bersahaja, kini terdengar seperti instruksi resmi. Bahkan kalimat sehari-hari bisa ditangkap sebagai kebijakan atau arahan strategis.
Jabatan memang memberi panggung dan sorotan. Tapi sayangnya, tidak selalu memberi kebijaksanaan dalam berkata-kata. Lidah jadi ringan, namun makna yang keluar bisa terasa berat. Beban moral atas setiap kata pun meningkat—sebab pengaruhnya kini jauh lebih besar.
Pangkat pun kerap membawa serta perubahan gaya hidup. Simbol-simbol prestise perlahan membalut kehidupan, dan bahasa pun ikut berubah. Yang dulu hangat menyapa siapa saja, kini mulai terdengar menjaga jarak. Dari “kita” berubah menjadi “saya”. Dari “ayo bersama-sama” menjadi “ikuti arahan saya”.
Secara perlahan, jabatan bukan hanya mengubah cara bicara, tetapi juga cara memandang orang lain. Bahasa tidak lagi menjadi jembatan komunikasi, melainkan menjadi penanda status. Padahal, hakikat dari pangkat bukan untuk meninggikan diri, melainkan untuk merendahkan hati—agar lebih mampu melayani.
Setiap pemilik pangkat dan jabatan berada di atas panggung sosial. Segala ucapan dan geraknya diperhatikan, ditiru, bahkan ditafsirkan. Maka di sinilah pentingnya moral dan integritas sebagai landasan. Tanpa itu, jabatan hanya menjadi etalase yang tampak megah, tetapi kosong di dalam. Kata-kata bisa terdengar manis di depan publik, namun menyakitkan di balik layar.
Banyak orang besar yang tumbang bukan karena kurangnya kecerdasan atau kekayaan, melainkan karena hilangnya moral saat sedang berada di puncak kuasa. Jabatan telah mengubah mereka dari pelayan masyarakat menjadi penguasa yang ingin dilayani.
Lalu, apa sebenarnya yang perlu diubah oleh jabatan?
Bukan penampilan. Bukan status. Yang seharusnya berubah adalah dampak sosial yang ditimbulkan. Jabatan idealnya mengubah cara kita memperlakukan sesama—dari yang biasanya melihat dari atas, menjadi lebih banyak mendengar dari bawah. Dari yang sering mengeluh, menjadi pemberi solusi. Dari yang reaktif, menjadi lebih reflektif.
Bahasa kita semestinya makin membumi, bukan makin menjulang. Sebab pada akhirnya, publik tidak mengenang siapa yang bicara paling lantang, tetapi siapa yang paling tulus dan memberi arti.
Kita perlu kembali ke akar nilai—ke “lembur”, kampung halaman tempat kita pertama kali diajarkan tentang kesederhanaan, kejujuran, dan hormat terhadap sesama. Di sana, kita tahu betul bahwa jabatan hanyalah titipan. Pepatah Sunda mengingatkan, “Tong nyandung kana pangkat, ulah indit kana jabatan.” Jangan terlena oleh pangkat, jangan menjauh karena jabatan.
Pangkat bisa datang dan pergi. Jabatan bisa berpindah tangan. Namun kehormatan pribadi akan terus hidup dalam kenangan orang-orang yang pernah merasakannya.
Bicara adalah cermin jiwa. Jika kekayaan bisa mengubah nada, ilmu mengubah gaya, dan moral memperhalus etika—maka pangkat dan jabatan seharusnya mengubah pengaruh positif kita terhadap lingkungan dan masyarakat.
Jangan biarkan jabatan menjauhkan kita dari rakyat. Jangan biarkan pangkat menjauhkan kita dari nurani. Jadikan kekuasaan sebagai ruang pengabdian, bukan sekadar simbol kekuatan.
Karena pada akhirnya, yang akan dikenang bukanlah seberapa tinggi jabatan yang pernah kita pegang, melainkan seberapa dalam kata-kata dan tindakan kita menyentuh kehidupan orang lain. ***