Oleh: Uha Juhana
Kontroversinews | Di tengah kondisi keuangan daerah yang terbatas dan komitmen efisiensi anggaran yang terus digaungkan, Pemerintah Kabupaten Kuningan justru meluncurkan buku bertajuk “100 Hari Pertama Kerja Dian-Tuti” dengan anggaran fantastis mencapai Rp 100 juta.
Langkah ini memantik kritik keras dari berbagai pihak, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Frontal yang menyatakan sikap sebagai berikut:
Tidak Peka Terhadap Kondisi Rakyat
Peluncuran buku tersebut mencerminkan ketimpangan kebijakan dan ketidakpekaan terhadap kondisi riil masyarakat. Kuningan termasuk dalam kategori daerah miskin ekstrem di Jawa Barat, namun justru merayakan capaian awal pemerintahan dengan kemewahan.
Urgensi Buku Dipertanyakan
Anggaran Rp 100 juta untuk penerbitan buku dinilai tidak memiliki urgensi yang jelas dalam mendorong kemajuan daerah. Di sisi lain, banyak warga yang masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti makan.
Infrastruktur Dasar Terabaikan
Banyak sarana pendidikan dan jalan umum di Kuningan rusak dan belum diperbaiki. Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan justru dihabiskan untuk proyek seremonial yang tidak menyentuh kepentingan publik.
Dampak Buku Tidak Jelas
LSM Frontal mempertanyakan sejauh mana buku ini berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dikhawatirkan, buku tersebut hanya dikonsumsi kalangan terbatas—ASN dan pejabat—tanpa distribusi merata atau akses publik yang luas.
Komitmen Efisiensi Dipertanyakan
Janji efisiensi anggaran yang sering disuarakan Bupati Dian Rachmat Yanuar terbukti hanya slogan kosong. Hampir setiap pekan digelar acara seremonial mewah, termasuk peluncuran buku, peresmian fasilitas, dan kegiatan protokoler lainnya yang boros anggaran.
Ironi Uang Rakyat
Ketika rakyat meminta bantuan, pemerintah berdalih anggaran terbatas. Namun, untuk kegiatan seremonial dan pencitraan, anggaran besar tersedia. Ini menunjukkan pola birokrasi yang tidak sensitif dan cenderung foya-foya di atas penderitaan rakyat.
Inkonsistensi Ucapan dan Tindakan
Bupati gencar berbicara soal reformasi birokrasi dan efisiensi, namun tidak selaras dengan tindakan. Penerbitan buku fisik dengan anggaran besar seharusnya bisa digantikan dengan media digital yang lebih murah, efisien, dan menjangkau lebih banyak masyarakat.
Data pemerintah pusat masih menunjukkan bahwa Kuningan termasuk daerah dengan tingkat kemiskinan ekstrem. Di tengah kondisi tersebut, peluncuran buku “100 Hari Kerja” justru terasa mencolok dan tidak empatik.
Masyarakat tidak membutuhkan pencitraan, melainkan aksi nyata. Jika benar peduli terhadap rakyat, seharusnya pemerintah fokus pada peningkatan pelayanan dasar, pembangunan infrastruktur, dan program pengentasan kemiskinan.
Peluncuran buku ini hanyalah satu dari sekian banyak kebijakan yang tidak tepat sasaran. Kritik dari publik terus mengalir, baik di media sosial maupun forum-forum masyarakat, mempertanyakan arah kepemimpinan yang sejatinya diharapkan membawa perubahan. Namun nyatanya, pola lama kembali diulang: glamor di atas derita rakyat.
Penulis: Ketua LSM Frontal