Oleh: Hamid, S.H., M.H.
Kontroversinews.com | Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum adalah sistem pemerintahan di mana penyelenggaraan negara — baik pemerintah maupun warga negara — didasarkan pada hukum yang berlaku. Sebaliknya, negara kekuasaan menjadikan hukum sebagai alat mempertahankan kekuasaan, dan tidak mencerminkan prinsip keadilan.
Lebih lanjut, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Ini berarti bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum, tanpa memandang status sosial, ekonomi, ras, agama, atau latar belakang lainnya. Konsekuensinya, siapa pun yang melanggar hukum — termasuk pejabat publik — harus dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Termasuk dalam hal ini adalah pejabat politik (anggota DPRD), pejabat negara, kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota beserta wakilnya), aparatur sipil negara (PNS dan PPPK), TNI, Polri, dan kepala desa. Apabila mereka melakukan nikah siri, maka dapat dikenakan sanksi pidana. Nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan tanpa dicatat secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) atau lembaga pencatatan sipil. Tindakan ini bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
Nikah siri yang dilakukan dalam kondisi tertentu dapat tergolong sebagai perbuatan pidana (strafbaar feit) dan dapat dijerat dengan Pasal 279 KUHP, yang berbunyi:
-
Dipidana penjara paling lama lima tahun:
-
Barang siapa kawin, sedangkan diketahuinya bahwa perkawinan yang sudah ada menjadi halangan yang sah baginya untuk kawin lagi.
-
Barang siapa kawin, sedangkan diketahuinya bahwa perkawinan yang sudah ada dari pihak lain menjadi halangan yang sah bagi pihak lain itu untuk kawin lagi.
-
-
Jika pelaku menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinannya yang sudah ada menjadi halangan sah untuk kawin lagi, dipidana penjara paling lama tujuh tahun.
-
Dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 angka 1 sampai 5 KUHP.
Dengan demikian, pejabat politik maupun pejabat negara lainnya yang melakukan nikah siri dapat dikenai sanksi pidana. Selain itu, mereka juga dapat dianggap melanggar etika jabatan dan berpotensi diberhentikan dari jabatannya melalui mekanisme etik dan/atau administrasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penulis: (Pemerhati Hukum, Praktisi Hukum, Advokat, dan Kuasa Hukum DPC Apdesi Kabupaten Kuningan)