Penulis: Hamid, S.H., M.H.
Kontroversinews | Kemerdekaan menyampaikan pendapat dan/atau mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya dijamin oleh undang-undang (Pasal 28 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Hak menyampaikan pendapat ini diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, khususnya Pasal 1 butir 1 yang menyatakan bahwa penyampaian pendapat merupakan hak setiap warga negara yang dilakukan secara bebas dan bertanggung jawab sesuai peraturan perundang-undangan.
Namun, dalam menyampaikan pendapat melalui media sosial (medsos), seperti Instagram, Facebook, TikTok, dan platform digital lainnya, masyarakat harus berhati-hati (frudent). Pendapat yang disampaikan harus berlandaskan norma hukum—yakni aturan atau kaidah yang dibuat dan ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (eksekutif dan legislatif) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UUD 1945.
Norma hukum bersifat mengikat dan disertai sanksi jika dilanggar, dengan tujuan menjaga ketertiban, keamanan, dan keadilan dalam masyarakat.
Sebagai konsekuensi hukum, apabila seseorang membuat konten atau pemberitaan di media sosial yang mengandung unsur:
-
Pelanggaran kesusilaan,
-
Perjudian,
-
Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik,
-
Pemerasan dan/atau ancaman,
maka dapat dijerat dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016. Hal ini juga diperkuat melalui Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri Nomor 229/2021, 154/2021, dan KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal-Pasal Tertentu dalam UU ITE.
Selain itu, masyarakat juga harus berhati-hati saat membuat laporan kepada aparat penegak hukum (APH) mengenai dugaan terjadinya tindak pidana. Sesuai Pasal 1 butir 24 KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981), laporan harus berdasarkan alat bukti hukum yang jelas dan sah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP:
a. Keterangan saksi,
b. Keterangan ahli,
c. Surat,
d. Petunjuk,
e. Keterangan terdakwa.
Laporan tanpa bukti permulaan yang cukup berpotensi menjadi laporan palsu. Sesuai Pasal 220 KUHP, disebutkan:
“Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah terjadi suatu peristiwa yang dapat dihukum, padahal ia tahu bahwa peristiwa itu sebenarnya tidak terjadi, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan.”
Oleh karena itu, bersikap bijak dan bertanggung jawab di dunia maya sangat penting agar tidak terseret proses hukum, baik karena pelanggaran dalam bermedsos maupun karena laporan palsu.
Penulis:Pemerhati & Praktisi Hukum Kuningan, Advokat, dan Kuasa Hukum DPC Apdesi Kabupaten Kuningan