Jakarta (Kontroversinews).- Ke Kota Tua naik delman
Lihat gedung tua berbaris rapi
Hari Lebaran penuh maaf-maafan
Lupakan salah, mari silaturahim
Sayangnya, memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain kadang bukan hal mudah. Ini manusiawi, kata psikolog klinis dewasa dari Ikatan Psikolog Klinis wilayah Banten Mega Tala Harimukthi.
Sulitnya memberi maaf bisa dipengaruhi sejumlah kondisi termasuk kepribadian seseorang dan kesalahan yang dibuat orang lain.
Seberapa kuat dorongan dalam diri untuk berproses memaafkan, melepaskan dan berusaha positif serta cara memproses pikiran dan emosi punya kontribusi pada keputusan dan proses memaafkan.
Di sisi lain, ada juga yang masih berpikir keuntungan bila memaafkan orang lain yang sudah menyakitinya. Biasanya, ini dialami orang yang sering dikecewakan dan sering berkonflik sehingga sulit memaafkan.
Kemudian, banyaknya pengalaman buruk bisa membuat seseorang mengalami masalah kepercayaan (trust issue) dengan orang lain.
Mega mengatakan, secara teori, memaafkan merupakan sebuah proses tanpa diminta bagi seseorang untuk bisa mengubah perasaan, perilaku, bahkan isi pikiran terhadap seseorang. Atau bahkan sebuah kejadian yang membuat dia terluka, marah menjadi lebih welas asih dan berusaha bersikap baik supaya tidak menimbulkan lagi masalah berikutnya.
Apabila seseorang bisa melakukan proses ini semua secara sadar, tanpa diminta atau dipaksa, maka sebenarnya dia sedang menolong dirinya.
Saat pikiran dan perasaan menjadi lebih positif karena sudah memaafkan maka perilaku akan mengikuti itu semua, sehingga secara fisik dan mental akan merasa lebih tenang dan sehat jiwa.
Hal senada juga disampaikan psikolog Meriyati MPsi. Merujuk berbagai penelitian, dia mengatakan bahwa memaafkan bisa membantu seseorang merasa lebih tenang, bahagia, dan memiliki hubungan sosial yang lebih sehat.
Dampak positif lainnya, mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan jantung. Studi menunjukkan, individu yang lebih mudah memaafkan cenderung memiliki tekanan darah lebih stabil dan risiko penyakit jantung lebih rendah.
Sebaliknya, menyimpan amarah dapat membuat tak tenang, pikiran selalu negatif, cenderung mudah cemas, yang semuanya berkontribusi pada meningkatnya tekanan darah dan kejadian sakit kepala.
Ini karena saat seseorang menyimpan amarah atau dendam, tubuh melepaskan hormon stres seperti kortisol. Pada jangka panjang, kondisi ini dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi dan gangguan kecemasan.
Peningkatan hormon stres juga dapat menyebabkan masalah kesehatan, seperti gangguan pencernaan dan penurunan daya tahan tubuh.
Hal lain akibat menyimpan amarah yakni menurunnya kualitas hubungan sosial, karena orang yang sulit memaafkan cenderung memiliki hubungan yang lebih penuh konflik dan kurang bahagia.
Langkah pertama
Memaafkan bukan berarti melupakan atau membenarkan kesalahan orang lain, tetapi melepaskan beban emosional agar dapat merasa lebih damai.
Otak memiliki mekanisme perlindungan diri yang membuat manusia lebih berhati-hati agar tidak terluka. Tetapi, saat sudah terlanjur terluka, memaafkan menjadi pilihan untuk membuat diri merasa lebih baik.
Mega menyarankan, pertama-tama untuk menyadari dan memahami dengan penuh bahwa diri ini hanya manusia biasa. Sadari bahwa sebagai manusia, diri ini tidak luput dari kesalahan karena secara objektif setiap manusia pasti mempunyai kesalahan.
Dengan begitu, sebelum menaruh dendam atau marah pada orang lain hingga enggan memaafkan, evaluasi diri terlebih dulu dan melakukan refleksi diri terkait kesalahan. Apakah di masa lalu pernah menyakiti orang lain, bagaimana selama ini memproses kejadian hidup; baik yang menyenangkan maupun tidak?
Saat sudah mencoba melakukan hal itu, maka akan lebih mudah memproses untuk memaafkan dan lapang dada. Menurut Mega, kemampuan berpikir secara objektif akan lebih mudah memunculkan rasa welas asih yang membantu memudahkan seseorang untuk memaafkan.
Upaya lain yang juga dapat membantu, seperti dikatakan Meriyati, yakni mencoba memahami alasan di balik tindakan orang lain. Ini bukan berarti membenarkan tindakan orang-orang yang menyakiti, tetapi mencoba memahami konteks atau situasi yang mungkin mempengaruhi perilaku mereka.
Memahami hal tersebut dapat membantu melihat situasi dengan perspektif lebih luas dan mungkin merasa lebih empati terhadap orang tersebut.
Selain itu, cobalah tanyakan pada diri sendiri, “Jika saya berada di posisi mereka, apakah saya juga dapat melakukan kesalahan yang sama?”
Idul Fitri dan memaafkan
Ajaran Islam menuntun muslim agar saling meminta dan memberi maaf.
Salah satunya, dalam surat An-Nisa ayat 149 yang artinya, “Jika kamu menyatakan sesuatu kebajikan, menyembunyikannya atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Kuasa.”
Lalu, dalam surah Al-A’raf ayat 199, “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf (perbuatan baik), serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh”.
Muslim yang tak saling bertegur sapa dengan sesama muslim lainnya akan ditangguhkan ampunan dosa mereka.
Rasulullah SAW bersabda, “Pada setiap hari Senin dan Kamis, seluruh amal perbuatan diperlihatkan dan diperhitungkan. Maka, Allah mengampuni bagi setiap orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, kecuali orang yang saat itu sedang ada perseteruan antara ia dan saudaranya. Kemudian, Allah berfirman, “Tinggalkan kedua orang ini sampai keduanya saling berbaikan.”” (HR Muslim).
Di antara berbagai kesempatan meminta dan memberi maaf, Idul Fitri salah satu momennya.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama DKI Jakarta Adib mengingatkan muslim agar saling memaafkan agar menjadi pribadi yang bersih, damai dan terbebas dari hal-hal yang menyangkut hak adami (manusia) di hadapan Allah SWT.
Adib mengatakan, orang yang memiliki martabat atau derajat yang tinggi di hadapan Allah SWT termasuk orang yang mampu mengendalikan diri dari rasa dendam dan berjiwa besar untuk memaafkan.
Bulan Suci Ramadhan dan Idul Fitri, dapat menjadi momentum untuk melapangkan hati, jiwa dan berjiwa besar untuk meminta maaf dan saling memaafkan.
Ini merujuk pada makna “Fitri” yang berarti suci. Seseorang yang memiliki dendam, benci, kesal atau semacamnya, ujar Adib, sejujurnya belum suci lahir batin.
Lagi-lagi, memang memaafkan dan bahkan meminta maaf buka bukan perbuatan mudah. Tapi, Adib mengingatkan bahwa ada ganjaran pahala yang sangat besar bagi mereka yang mampu memaafkan siapapun yang bersalah padanya.
Ini dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW sosok yang pemaaf dan ingatlah, memaafkan itu adalah suatu perbuatan yang sangat mulia.
Marah dan kecewa atas kesalahan orang lain dan sulit memaafkannya adalah manusiawi dan wajar. Mengizinkan diri untuk merasakan emosi itu sah-sah saja.
Namun, agar jiwa dan tubuh menjadi lebih baik, memaafkan adalah “jalan ninja”. Meskipun sulit, mari mencoba menjadi jiwa pemaaf, khususnya di momen Idul Fitri.***