Kab. Bandung | Kontroversinews.- Melukis itu bukan hanya menghasilkan gambar atau menjadikan sesuatu objek tertentu yang secara instan divisualisasikan dengan tuntutan waktu ungkap R. cahyadi, Seniman Pelukis Arkilik, Jum’at, 24/02, agar bisa langsung terjual. Sehingga lukisan yang dihasilkan walau pun bagus tidak sepenuhnya mengundang rasa. Rasa itu sendiri perlu penjabaran secara signifikan agar setiap karya lukis yang ada bisa menggambarkan suasana interaksi psikologis antara lukisan dengan objek atau orang yang berminat. Itu jelas merupakan apresiasi jiwa penggambaran dialog batin dimana seseorang merasa lukisan tersebut bisa memberikan kepuasan. Untuk harga sendiri pun secara komersil akan memperoleh nilai lumayan.
Tapi bila kita memang menjiwainya akan karya setiap lukisan, tambah R. Cahyadi, kita tidak perlu memasang harga, karena sang kolektor atau seseoranglah yang akan menentukan kelayakan harga bagi karya kita itu. Ia juga mengakui kalau masing-masing pelukis mempunyai ciri tersendiri. Baik itu ekspresi, karakter, dan kriteria yang dijadikan pemusatan konsentrasi saat mengimplementasikan objek di atas kanvas. Namun perlu juga diketahui, antara Pelukis dan Seniman Pelukis mempunyai batasan sangat tipis. Untuk Pelukis lebih mengandalkan seseuatu yang tersedia sesuai dengan kebutuhannya, seperti Cat, Valet, Kuas, dan Kanvas. Sementara seniman Pelukis, selalu berimprovisasi agar karyanya bisa lebih inovatif.
Cahyadi mengaku, setiap benda yang ada di sekitar kita bisa menjadi objek dasar lukisan. Asal kita bisa melakukan penyesuaian rasa antara objek dengan subjek. Dan itu perlu pemahaman yang membutuhkan banyak waktu. Salah satunya objek air, bagaimana riaknya, karakteristiknya, kriterianya, bahkan saat pagi siang dan malam pun mempunyai alur tersendiri. Guna menguasai semua itu dituturkan Cahyadi, butuh waktu 2 tahun. Dari panjangnya waktu itu ia bisa menghasilkan sebuah karya spektakuler dimana lukisan air itu seakan hidup dan menghadirkan kenyamanan. Liukisan seperti itulah yang biasanya mempunya nilai ekonomi tinggi dan diminati kolektor-kolektor.
“Lukisan itu merupakan ekpresi jiwa, dengan mendalami setiap rasa saat menggambar, maka akan terjadi suatu sentuhan rasa yang menuntut kita kita terlepas dari sebuah kecenderungan dasar yang menghasilkan karya baku. Tapi jadikanlah rasa itu sebagai alur penjiwaan yang menuntun kita supaya bisa menghasilkan sebuah karya cipta yang memberikan ketenangan, kenyamanan, dan bisa menghadirkan kebahagiaan bagi peminatnya,” kata Cahyadi.
R. Cahyadi, putera ke 6 dari 8 bersaudara, kelahiran 5 April 1965, pasangan Alm. RH. Rohadi Ganda Kusumah dengan HJ. Euis Siti Hasanah, mulai menunjukkan bakat lukisnya pada tahun 1968, dengan meraih Juara I se-Bandung Raya dalam acara Lomba Lukis Anak yang diselenggarakan Institut Tekhnologi Bandung (ITB).
1. Tahun 1973 kembali meraih Juara I se Bandung Raya.
2. Tahun 1977, mendapat Penghargaan dari Pemerintah India yaitu Nehru Award, dengan tema Lukisan Kebudayaan.
3. Tahun 1981, Juara Lukis I se Bandung Raya.
4. Tahun 1995, penghargaan dari Bank Bali.
5. Tahun 1996, penghargaan dari Bupati Bandung, Alm. H.U. Hatta Djatipermana.
6. Tahun 2009, penghargaan dari Bupati Bandung, H. Obar Sobarna.
Pengalaman lainnya Cahyadi, berupa:
- Mengikuti Pameran 4 negara (Jepang, Amerika, Belanda, dan Indonesia) tahun 1995.
2. Pameran Bank Bali (Peluncuran si Jempol) tahun 1995.
3. Pameran Dekranasda Kabupaten Bandung tahun 1996.
4. Pameran Pembangunan tahun 1998.
5. Pasar Seni ITB tahun 1999.
6. Pameran Pembangunan tahun 2004.
7. Pameran Dinamika Kreatifitas tahun 2008 dan tahun 2009.
8. Pameran Grand Opening Gedong Budaya Sabilulungan tahun 2014.
9. Pameran Tiga Generasi di Bale Seni Barly tahun 2016.
10. Pameran Nautika Rasa Galelery Nasional tahun 2016.
Dari pengalaman itu Cahyadi berkeinginan membagi wawasan dan pengetahuan mengenai seni lukis. Sebagai gambaran ia menyikapi, bahwa dari alam kita bisa bisa meraih sebuah bahan yang kita butuhkan. Di alam juga kita bisa memanfaatkan ketersediaan sebagai bahan untuk lukisan kita. “Kadang dari limbah cangkang telur, jerami, beras, pasir, padi, atau yang lainnya, kita bisa menghasilkan sebuah karya yang fenomenal. Untuk peraihannya itu diperlukan rasa berkesinambungan antara pelukis dengan objek yang akan dipergunakan. Itulah sebuah pemahaman yang semestinya bisa dijadikan pembelajaran,” kata Cahyadi.
Cahyadi sendiri menjelaskan, selain memang dasarnya adalah bakat, tapi bakat itu sendiri perlu dilkukan pengembangan dan penempaan agar kita bisa menjadi seseorang yang berhasil dengan karya lukis. Selain Pelukis R. Kanedie Nataatmaja, Guru juga merupakan pamannya, juga Barly Sastrawinata, Wahdi Sumanta, serta Affandi. Dari semua pembimbingnya, pamannya itu yang paling lama, hampir 11 tahunan. Selama itu beribu lukisan telah ia buat dan tersebar di mana-mana.
Malah saat ini ia tengah menggarap pesanan 200 lukisan yang mesti selesai dalam jangka waktu singkat. Ia merasa optimis bisa merampungkan pekerjaannya dalam durasi waktu 6 bulan saja. Keberadaan Cahyadi sebagai Putera Daerah Kabupaten Bandung yang sarat dengan Prestasi, sudah diakui secara Internasional. Kadang kesibukannya itu menjadikan ia bolak-balik ke luar negeri. Thailand, Bangkok, Singapura, Australia, Malaysia, Myanmar, dan yang lainnya, sudah beberapa kali memesan karyanya yang semua berhasil dipenuhinya. Ada juga tawaran dari Eropa, Malaysia, juga Australia, untuk mengajar Seni Rupa di Universitasnya dengan samua fasilitas yang sangat menggiurkan. Tapi ia menolak meninggalkan Kabupaten Bandung.
“Saya lahir dan besar di Kabupaten Bandung. Jadi sewajarnya saya berfikir kemajuan untuk Kabupaten Bandung. Salah satu yang bisa saya berikan kepada generasi muda Kabupaten Bandung adalah pengalaman, wawasan, dan ilmu lukis, yang siapa saja berminat bisa merapat. Begitu juga dengan pelukis-pelukis lainnya, atau generasi muda yang mempunyai bakat melukis, Insya Allah akan saya bantu semaksimal mungkin, supaya bakatnya bisa tersalurkan dengan baik,” pungkas Cahyadi. (Ki Agus N. Fattah).