Gugatan terhadap penjelasan itu dilayangkan oleh dua Penyidik PNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Cepi Afriana dan M. Dedy Hardinianto serta dua penyidik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Garribaldi Marandit dan Mubarak.
Menurut mereka, penjelasan pasal 74 UU TPPU itu membatasi bahwa kewenangan penyidikan TPPU hanya dapat dilakukan oleh penyidik dari enam instansi yakni Polri, KPK, BNN, Kejaksaan, serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
Hal ini bertentangan dengan norma pasal 74 UU TPPU yang mengamanatkan bahwa penyidikan pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik asal yang dilakukan berdasarkan undang-undang.
“Seharusnya penyidik pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berwenang untuk menyidik tindak pidana pencucian uang yang harta kekayaannya berasal dari tindak pidana di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, begitu juga penyidik pada Kementerian Kelautan dan Perikanan,” sebagaimana dikutip dari permohonan yang dipertimbangkan hakim.
Selain itu, mereka juga menilai ada perlakuan yang tidak sama di depan hukum terhadap penyidik dari enam instansi di atas dan penyidik PNS di instansi lain.
Padahal, berdasarkan Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 6 ayat (1) KUHAP, penyidik PNS lain memiliki wewenang khusus melakukan penyidikan dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukum masing-masing PNS tersebut.
Selama ini, pasal 74 UU TPPU itu berikut penjelasannya mengharuskan penyidik PNS di luar enam instansi yang menemukan kasus pencucian uang, melaporkan kasus itu kepada polisi.
“Penyidik tersebut hanya memiliki pilihan untuk menyampaikan temuannya ke penyidik kepolisian,” sebagaimana dikutip dari permohonan Cepi dan rekan-rekannya.
Mereka lantas meminta Majelis Hakim MK agar menyatakan bahwa penjelasan Pasal 74 dalam TPPU sepanjang kalimat “Yang dimaksud dengan penyidik tindak pidana asal” merupakan pejabat pejabat dari enam instansi itu, bertentangan dengan UUD Dasar 1945.