Kontroversinews.com – Pada bulan Desember 2018 yang lalu, bersama ratusan perempuan lain saya turut berpawai untuk mendorong disahkannya Rencana Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Pawai itu dimulai dari Sarinah Thamrin menuju Monas. Dalam iringan pawai, saya bertemu begitu banyak teman lama. Ini semacam reuni. Pada saat yang sama, saya menemukan juga kawan kawan baru.
Karena kami harus bergerak dan tetap dalam barisan, kadang kami harus berlari. Suatu ketika saya bersebelahan dengan seorang ibu yang cantik, berusia di sekitar 40 tahunan. Ia berdampingan dengan seorang perempuan yang ternyata sahabat karibnya.
Setelah saling bersalaman dan berbagi nama, sang sahabat karib memperkenalkan diri sebagai mbak Ika (bukan nama sebenarnya). Sementara, ibu cantik adalah mbak Diana (bukan nama sebenarnya).
Mbak Ika memandang mata saya dalam dan berkata “Mbak, saya senang bertemu mbak Leya. Entah apa lagi yang harus kami lakukan. Kami berharap ada jalan keluar bagi mbak Diana.”
Mbak Diana menyambung dengan mata berkaca, “Saya di sini untuk anak saya. Anak saya korban (kekerasan seksual)”. Tetap berjalan beriringan, saya mendengarkan dan mencoba memahami apa yang terjadi.
Setelah mbak Diana dengan terisak selesai menceritakan apa yang terjadi, saya hanya bisa pegang tangan mbak Diana. Tidak bisa saya tahan air mata, saya hanya katakan “Lawan bersama”.
Dalam hati saya berkata “biadab!”. Mbak Diana Bercerita bahwa anaknya yang masih duduk di kelas 2 SMA telah diperkosa sang ayah tiri. Karena takut, sang anak diam saja. Hingga suatu saat, sang anak melapor pada ibunya. Dan apa yang dilakukan oleh sang ayah tiri adalah memang biadab. Perkosaan terjadi berkali kali selama 2 tahun. Sang ayah tiripun sudah seperti bukan manusia.
Dokter yang melakukan otopsi menangis menemukan apa yang terjadi. Pelaku melakukan perkosaan itu dari ‘depan’ dan ‘belakang’ dengan kejam. Ini merobek dan merusak wilayah kemaluan dan rektum.
Saya peluk mbak Diana dan juga mbak Ika. Kami terisak berangkulan. Sesak napas rasanya. Geram. Marah. Pedih. Ngilu. Saya, kami, perempuan, selalu turut merasakan menjadi korban dengan mendengarkan dan menolong korban.
Saya perkenalkan mbak Diana kepada Ketua Komnas Perempuan. Saya bagi nomor HPnya. Saya senang, mereka akhirnya saling bertemu seusai pawai. Kami berpencar setelahnya, namun kami terus berkomunikasi melalui WA.
Saya akhirnya pahami bahwa sang suami, pelakunya, saat ini sudah dipenjara. Kasus perceraian sudah berlangsung. Namun pengadialn kasus perkosaan akan dilakukan setelah pengadilan perceraian dikabulkan.
Dalam proses perceraian, mbak Diana mendapat teror dari keluarga sang suami, pelaku perkosaan. Bahkan mereka katakan “Perkosaan kok 2 tahun. Sudah ngerti rasanya enak ya?”. Oh Tuhan. Yang berat, mbak Diana saat ini bekerja untuk anak anaknya, baik korban maupun 2 anak dari hasil perkawinannya dengan pelaku pemerkosaan.
Pembaca mungkin pernah ingat kasus pembunuhan dengan cangkul oleh pemerkosa kepada korbannya? Juga kasus perkosaan anak berusia 14 tahun yang kemudian dibunuh dan mayatnya dibuang ke jurang di Rejang Lebong, Jawa Barat? Kita tentu ingat pula seorang gadis dengan disabilitas berusia 18 tahun yang diperkosa ayah, kakak dan adik kandungnya secara beramai ramai di Lampung?
Sumber : Kompasiana.com
Ketika saya bertugas ke Papua dan Papua Barat di tahun 2015, kesaksian atas kasus kekerasan seksual sangatlah mengerikan. Seorang anak perempun yang masih bersekolah di bangku SMP di Sorong diperkosa 8 pemuda yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dan 2 orang murid SMA. Tidak ada pengadilan.
Orang tua korban diberi uang Rp 150 juta dan korban dipindahkan ke Manado. Ini bagian dari penyelesaian secara adat. Habis perkara. Dan masih banyak lagi kasus kasus kekerasan seksual yang semuanya memilukan.
Dan, kitapun masih berhutang tanggung jawab pada ratusan perempuan etnis Cina yang diperkosa pada peristiwa Mei 1998. Inilah yang disebut impunitas yang terjadi karena kegagalan negara untuk mengambil atau melaksanakan tindakan hukum kepada pelaku.
Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan melaporkan dalam Catatan Tahunan (Catahu) Kekerasan Terhadap Perempuan 2019 bahwa pelaporan kasus kekerasan seksual meningkat sebesar 14% pada tahun 2018. Peningkatan kasus memang memprihatinkan. Pada saat yang sama ini menunjukkan peningkatan kesadaran perempuan untuk melaporkan, disamping membaiknya pendokumentasian atas kasus.
Secara keseluruhan, terdapat 406.178 kasus kekerasan. Jumlah kekerasan kasus kekerasan terhadap perempuan masih didominasi oleh Kekerasan Dalam Rumah Tangga (5.114 kasus), Kekerasan dalam Pacaran (2.073 kasus), Perkosaan dalam Perkawinan (195 kasus) dan Incest (1.071 kasus).
Kekerasan sesksual pada perempuan dengan disabilitas juga meningkat, disamping kekerasan berbasis eksplorasi sumber daya alam serta diskriminasi kebijakan tata lahan.
Selain itu, kekerasan dengan menggunakan teknologi yang menyebarkan konten yang merusak reputasi korban, atau kekerasan berbasis ‘cyber’ juga mendominasi tahun 2018. Wilayah tertinggi terjadinya kekerasan adalah di lingkungan tempat tinggal, dengan tetangga dan teman sebagai pelaku tertinggi. Mayoritas pelaku berusia 25 s.d 40 tahun, sementara korban berusia 13 s.d 18 tahun.
Bukan itu saja, Indonesia adalah satu dari 3 negara, di samping India dan Filipina, sebagai tempat paling tidak aman bagi perempuan (CalueChampion, 2019).
Studi ini mencakup 15 negara di Asia Pasifik dan membuat ranking atas negara negara berdasarkan keamanan, layanan kesehatan dan keempatan bagi perempuan. Data yang dipergunakan adalah dari Persatuan Bangsa Bangsa, Global Peace Index, Bank Dunia dan juga Unites States State Department.
Sayangnya, RUU PKS ditolak oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Perspektif yang salah kaprah soal urgensi RUU PKS memuakkan. Ironisnya, politisi kita mengataan bahwa RUU PKS berpotensi melegalkan LGBT, aborsi perzinahan.***AS