Kuningan, KontroversiNews | Menjelang akhir masa jabatan Pj Sekda Kuningan, arah kebijakan terkait siapa yang akan menduduki kursi Sekda definitif masih belum jelas.
Ketua DPD Lembaga Pemantau Korupsi Nasional (LPKN) Jawa Barat, Bang Jhoni Panne, angkat bicara lantang pada Rabu (13/8/2025) melalui sambungan seluler. Ia menyampaikan bahwa hasil prediksi dan analisis LPKN terbukti benar — proses open bidding Sekda sejak awal sudah diwarnai motif yang tidak baik, yang pada akhirnya memicu kericuhan dan kegaduhan. Hingga hampir satu tahun, hasil open bidding masih “digantung” menunggu keputusan pemenang Pilkada karena adanya ketidaksesuaian.
“Kita bisa lihat dari kejadian Pj IIP yang mendadak, pada 30 Oktober malam, mengumumkan tiga besar pemenang open bidding. Ini tanda tanya besar — ada apa? Sebab, pada 1 November 2024, Pj IIP harus ke Bandung untuk serah terima jabatan dengan Pj Bupati baru, Saudara Agus Toyib. Padahal, kalau memang hasil open bidding sudah ada, biarkan berjalan sesuai jadwal yang ditentukan. Pj IIP tinggal membangun komunikasi efektif dengan pemenang Pilkada,” ungkapnya.
Bang Jhoni menambahkan, persetujuan Bupati terpilih bukan merupakan regulasi yang mengikat. Namun, hal itu dapat menjadi bukti adanya sinergi dan hubungan baik demi kebaikan roda birokrasi Kuningan ke depan.
“Setelah kami (LPKN) melakukan investigasi dan mengumpulkan data, mulai dari rundown acara hingga pelaksanaan open bidding, kami menduga telah terjadi kecurangan dan praktik KKN dalam open bidding Sekda Kuningan terdahulu,” ujarnya.
Menurut LPKN, arah kebijakan Bupati Kuningan kemungkinan besar adalah mengisi kursi Sekda dengan Pj atau Plh. Melantik hasil open bidding terdahulu dinilai tidak mungkin, kecuali ada pembatalan resmi disertai bukti pelanggaran yang jelas. Mengajukan salah satu dari tiga besar selain pemenang nilai tertinggi juga berpotensi menimbulkan masalah, karena dua pemenang lainnya diduga melanggar PP 17 Tahun 2020 Pasal 107 dan PP 11 Tahun 2027 tentang Manajemen ASN — yakni belum genap dua tahun menduduki jabatan eselon II.
“Satu-satunya jalan, menurut kami, adalah mengevaluasi peserta open bidding terdahulu untuk diajukan menjadi Sekda definitif,” sarannya.
Bang Jhoni menegaskan bahwa jabatan Sekda merupakan instrumen vital dalam birokrasi pemerintahan daerah. Jika kursi tersebut dibiarkan kosong tanpa Sekda definitif, hal itu bisa memunculkan pandangan negatif terhadap Bupati, yakni abuse of power.
“Pj Sekda atau Plh Sekda kewenangannya terbatas, sehingga semua kebijakan otomatis diambil alih oleh Bupati. Menurut kami, ini kurang baik dan berpotensi memicu pelanggaran etika serta moral pejabat,” pungkasnya. ***