Kuningan, Kontroversinews | Pernyataan mengejutkan datang dari Sultan Sepuh Pangeran Kuda Putih, yang menyebut bahwa tanah eks Pendopo Bupati Kuningan adalah milik Kesultanan Cirebon. Ucapan ini sontak mengundang reaksi publik, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Gerakan Sultan Sepuh Pangeran Kuda Putih mendapat perhatian luas. Dengan gaya santainya yang low profile namun penuh aksi nyata, Sultan Sepuh asal Kuningan ini tampil berbeda dari sultan-sultan lainnya di Cirebon. Kepeduliannya terhadap warisan leluhur dan masyarakat tampak jelas, termasuk dari aktivitasnya di media sosial.
Menanggapi pernyataan tersebut, Pemerintah Kabupaten Kuningan melalui akun resmi BPKAD akhirnya buka suara. Kepala BPKAD Deden Kurniawan, SE., M.Si. menjelaskan bahwa tanah di Jalan Siliwangi No. 88 Kuningan tercatat secara resmi dalam neraca aset Pemkab, dengan status Hak Pakai, terdiri dari tiga bidang tanah:
Tanah dan bangunan eks Kantor Sekretariat Daerah seluas 15.823 m², bersertifikat No. 20, tanggal 20 September 1990, ID Barang: 47817.
Lapangan parkir seluas 2.430 m², bersertifikat No. 33, tanggal 24 September 2009, ID Barang: 47818.
Tanah darat/taman seluas 477 m², bersertifikat No. 57, tanggal 6 Januari 2022, ID Barang: 68616.
Dikonfirmasi oleh awak media, Sultan Sepuh Pangeran Kuda Putih, Syarif Maulana Pangeran Heru Rusyamsi Arianatareja, S.Psi., S.H., M.H., menjawab dari Jakarta di sela rapat di Kementerian Pertanian:
“Akhirnya Pemda mengakui juga, statusnya cuma Hak Pakai, kan? Lalu, siapa pemiliknya? Logikanya, kalau tanah itu milik negara, kenapa tidak berani mencantumkan hak milik saja? Hak pakai itu artinya hanya dipakai, artinya masih ada pemilik aslinya. Pertanyaannya: siapa pemilik hipotik tanah itu? Negara Indonesia lebih dulu mana dibanding Kesultanan Cirebon? Jadi siapa yang sebenarnya ‘negara di atas negara’? Dalam konstitusi sudah jelas: negara tidak memiliki tanah, hanya menguasai dan mengelola. Kalau ahli waris pemilik awal tanah itu bicara, salahnya di mana?”
“Saya ini Sultan. Yang saya pikirkan bukan cuma hak atau aset. Saya memikirkan nasib para seniman, budayawan, generasi muda Kuningan. Mereka butuh ruang ekspresi dan budaya. Saya ingin membangun peradaban dan menghidupkan kultur lokal. Harusnya ada kegiatan budaya besar seperti Seren Taun Keraton di Kuningan, sebagaimana dulu pernah ada di masa Pangeran Arya Kemuning.”
“Jangan sampai Pendopo itu dipakai atau disewakan ke pihak ketiga hanya demi bisnis. Kalau mau menuntut, bisa saja. Tapi saya tidak ke situ. Nama Pendopo pakai nama leluhur saya: Pangeran Purbawisesa Langlangbuana. Apakah selama ini Pemda pernah membayar royalti atau meminta izin memakai nama leluhur kami? Secara simbolik, nama itu sudah menjadi pengakuan tidak langsung bahwa bangunan itu milik Purbawisesa.”
Sultan Sepuh juga menegaskan bahwa status tanah ulayat atau adat diakui secara hukum oleh negara, dengan dasar hukum:
UUD 1945 Pasal 18B ayat 2
UUPA No. 5 Tahun 1960 Pasal 3
PP No. 224 Tahun 1961 Pasal 4 ayat 1
PP No. 18 Tahun 2021 Pasal 98 ayat 2
Permen ATR/BPN No. 14 Tahun 2024
PP No. 24 Tahun 1997
Sertifikat Hak Milik Adat (SHMA) sebagai acuan utama
“Semua jelas. Negara mengakui tanah adat. Dasar hukum negara adalah hukum adat. Jadi sudahlah, jangan berdebat dengan kami,” tegas Sultan Sepuh.
Sebagai Ketua Lembaga Negara Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (LNPKRI/DAN RI), Sultan Sepuh juga menaungi para Raja dan Sultan Nusantara. Lembaga ini berdiri sejak 1964 dan kini dipimpinnya dengan elegan. Dalam peran nasional, ia dikenal sebagai salah satu pendukung utama Prabowo Subianto saat Pilpres 2024, serta menjadi Duta Program Pemberantasan Korupsi di bawah Presiden RI Prabowo Subianto.
Kini, publik menunggu solusi. Apakah Pemda Kuningan mau bersinergi dan harmonisasi dengan Sultan Sepuh Pangeran Kuda Putih dari Keraton Kasepuhan Kesultanan Cirebon, atau tetap memilih jalan konfrontatif?
Semua kembali kepada publik untuk menilai. ***