SOREANG | Kontroversinews – Bawaslu Kabupaten Bandung menginisiasi pembentukan 31 Desa Anti Politik Uang menghadapi pelaksanaan Pilbup Bandung 2020. Pembentukan Desa Anti Politik Uang ini guna mempersempit ruak gerak aksi politik uanG dan mencegah adanya politik transaksional.
Desa Anti Politik Uang ini terbentuk setelah 31 kepala desa dan perwakilannya mendeklarasikan sikap untuk berkomitmen menolak segala bentuk money politics di wilayahnya masing-masing.
Deklarasi dilakukan di Hotel Sutan Raja, Rabu 11 Maret 2020 dilanjutkan dengan penandatangan deklarasi tersebut oleh seluruh kepala desa dan perwakilannya.
Koordinator Divisi Pengawasan Bawaslu Kabupaten Bandung, Hedi Ardia menuturkan, kepala desa dinilai sebagai salah satu aktor politik yang mempunyai peranan penting dalam memutus politik transaksional tersebut.
Menurutnya, gerakan Desa Anti Politik Uang ini merupakan pilot project bagi wilayah-wilayah lainnya. Para kepala desa yang dipilih untuk bergabung dalam program ini merupakan rekomendasi yang disampaikan oleh Panwaslu kecamatan yang tersebar di 31 kecamatan.
“Setelah mereka menyatakan sikapnya juga kami langsung sampaikan mengenai landasan filosofis, yuridis dan sosiologis dengan langsung memberikan sosialisasi saat itu juga mengenai bahaya politik uang yang bisa merusak bangungan demokrasi bagi kepala desa,” kata Hedi.

Keberadaan desa anti politik uang ini selanjutnya diharapkan bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai bahaya politik uang yang bisa diancam pidana.
Dalam ketentuan pasal 187A Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 dinyatakan setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu akan dipidana dengan pidana penjara.
“Sanksinya paling singkat hukuman penjara selama 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 200 ribu dan paling banyak Rp1 milliar,” kata dia.
Pidana yang sama, lanjut Hedi, diberika kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerima pemberian atau janji seperti ketentuan pasal tersebut.
“Melalui desa anti politik uang diharapkan kepala desa bisa ikutnya mengingatkan warganya bahwa terjadinya kecurangan dan pelanggaran Pemilu bisa diawasi dan dicegah dengan dilaporkan ke Bawaslu dan identitas pelapor bisa kami rahasiakan,” ujarnya.
Disamping secara yuridis memang melanggar, fakta sosiologis hasil penelitian yang dilakukan Edward Aspilnall dan Warb Berenschot juga menurut Hedi perlu dipahami bagaimana operasionalisasi para politisi memenangi pemilihan dengan mendistribusikan projek-projek berskala kecil, memberukan uang tunai atau barang kepada para pemilih.
Mereka mendapatkan dana untuk membiayai kampanye mereka dengan memperjual-belikan kontrak, perizinan dan manfaat-manfaat lainnya dengan para pengusaha.
Mereka juga terlibat dalam pertarungan yang tak ada ujungnya dengan politisi saingan mereka dan dengan birokrat untuk merebut kendali atas sumber-sumber daya negara dalam rangka membiayai kegiatan politik mereka.
Politisi Indonesia disebut-sebut lebih bergantung pada struktur organisasi yang bersifat ad hoc dan personal, yang dikenal dengan sebutan “tim sukses” ketimbang partai.
Hubungan yang terjalin bisa berbasis kekerabatan, pertemanan, jaringan usaha, agama atau suku. Disamping itu, birokrat juga dianggap memegang kendali atas sumber daya negara dan merupakan aktor kunci dalam kampanye pemilihan.
“Tentu kita tidak ingin pesta demokrasi bukan sekadar demokrasi prosedural saja. Tapi, prinsip-prinsip demokrasi itu bisa ditegakkan sehingga pada akhirnya masyarakat pun bisa sejahtera karena pemimpinnya memang bersih dan punya komitmen terhadap rakyatnya bukan kelompoknya,” pungkasnya.(Lily Setiadarma)








