Jakarta (Kontroversinews.com) – KUASA hukum almarhum AA Gde Agung Narendra Prabangsa, jurnalis senior Bali yang dibunuh oleh Nyoman Susrama, Made Suardana, meminta kepada Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan mengabulkan permohonan remisi dari napi I Nyoman Susrama yang saat ini sedang diperjuangkan oleh Bapas Karangasem.
“Saya mendengar I Nyoman Susrama, aktor intelektual pembunuhan AA Gde Bagus Narendra Prabangsa (wartawan Jawa Pos Radar Bali) kembali mengajukan remisi. Saya hanya ingin mengingatkan Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna Laoly dan jajarannya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jangan lagi mempermalukan Presiden Jokowi dengan mengabulkan permohonan remisi Susrama. Karena itu melukai rakyat Bali, para awak media di seluruh Bali dan bahkan seluruh Indonesia,” ujar Suardana di Denpasar, dilansir dari Media Indonesia, Rabu (10/3).
Suardana menegaskan, pencabutan Keppres Nomor 29/2018 dan diganti dengan Keppres Presiden Nomor 3/2019 oleh Presiden Jokowi merupakan tamparan keras bagi Kementerian Hukum dan HAM RI, bahwa usulannya membuat presiden harus merevisi kembali dan mencabut Keputusannya terdahulu. Dan itu sudah dilakukan Jokowi dua tahun yang lalu.
Memori itu belum terhapus dari publik Bali dan Indonesia terutama ini melecehkna profesi jurnalis. “Saya hanya ingin mengingatkan, tahun 2019 lalu saat menerima aksi Solidaritas Jurnalis Bali (SJB), Kakanwil Hukum dan HAM Bali saat itu yakni Sutrisno telah menunjukkan komitmennya. Sutrisno mempertegas persyaratan khusus dan catatan khusus bagi terpidana Susrama. Yakni tidak akan berproses untuk remisi,” ujarnya.
Ia meminta, mestinya hal itu juga diindahkan oleh pengganti Sutrisno saat ini, yaitu Jamaruli Manihuruk. “Jangan sampai kami turun lagi dengan jumlah massa melimpah di masa pandemi ini. Kami tidak mengancam, kami sudah pernah membuktikannya dua tahun lalu. Kita sudah final, bahwa urusan Susrama ini menjadi masalah pembunuhan jurnalis yang sedang bertugas.
Sehingga kita anggap pembunuhan ini bukan seperti pembunuhan biasa, tapi menjadi masalah ancaman bagi kebebasan jurnalis,” tegasnya.
Para jurnalis yang ada di Bali dan penjuru tanah air sudah bersepakat, bahwa tidak ada ampun bagi pelaku kejahatan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugasnya. Prabangsa dihabisi saat menjalankan tugasnya mengungkap fakta kasus korupsi proyek yang dipimpin Susrama.
“Kita sudah memberikan data kepada pemerintah, kepada lembaga berwenang, kepada para penegak hukum, bahwa hanya kasus Susrama inilah satu-satunya kasus pembunuhan terhadap wartawan yang terungkap.
Susrama juga satu-satunya pelaku kejahatan terhadap wartawan yang mendapat hukuman berat. Semestinya penegakan hukum terhadap Susrama ini menjadi simbol negara dalam hal perlindungan terhadap insan pers,” pintanya.
Kebijakan negara memberikan atau tidak memberikan remisi pengurangan hukuman juga menjadi tanggung jawab moral. Sekalipun Susrama tidak bisa dilarang kalau ingin mengajukan remisi. Jangan sampai keputusan presiden yang merupakan usulan kementerian malah digugat ke PTUN, dan menggangu citra pemerintahan Jokowi.
Jika hal ini tidak signifikan diurus oleh Kementerian Hukum dan HAM RI, sebaiknya diambil keputusan internal saja sehingga dapat meneduhkan situasi di tengah pandemi.”Sampai kapanpun kami akan menolak remisi untuk pembunuh wartawan yang sedang menjalankan tugasnya. Sebab, wartawan yang bertugas dijamin dan dilindungi UU Nomor 40/1999. Jika pemerintah memberikan remisi pada Susrama, maka sama saja mengebiri kebebasan pers di masa mendatang,” tutupnya. (OL-3)