Kab. Bandung | Kontroverinews.- Ita Purwanti, Kepala Bidang Tata Lingkungan yang didampingi Asri, Kasi KDL pada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, Jum’at, 23/02 lalu, mengatakan Amdal merupakan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/ atau kegiatan.
UKL – UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan) adalahpengelolaan dan pemantauan terhadap usaha atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan.
Sementara SPPL (Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan) adalah kesanggupan dari penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas dampak lingkungan hidup dari usaha dan/ atau kegiatannya di luar Usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL.
Ita mengatakan, dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2012 Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa Amdal, UKL-UPL dan SPPL merupakan “Dokumen Lingkungan Hidup.” Walaupun SPPL hanya terdiri dari satu sampai dua lembar (karena hanya berupa surat pernyataan) dalam peraturan tersebut tetap disebut sebagai dokumen lingkungan.
Persamaan dari ketiga dokumen tersebut adalah:
1. Waktu penyusunan
Amdal, UKL-UPL dan SPPL disusun sebelum dilaksanakannya suatu usaha dan/ atau kegiatan. Artinya penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan harus memiliki rencana pengelolaan dan pemantauan dampak yang akan ditimbulkan dari usaha/ kegiatan.
2. Tujuan penyusunan
Tujuan disusun dokumen lingkungan (bagi pemrakarsa) adalah agar suatu usaha dan/ atau kegiatan yang dilakukan tidak menimbulkan pencemaran, perusakan, gangguan terhadap lingkungan atau dampak sosial lainnya. Bahkan dalam amdal dan UKL-UPL telah dikembangkan upaya pengembangan sosial di lingkungan sekitarnya (misalnya Corporate Social Responsibility). Sedangkan tujuan penyusunan dokumen lingkungan bagi pemerintah (pusat ataupun daerah) adalah sebagai bahan pengambilan keputusan apakah rencana usaha dan/ atau kegiatan yang diajukan tersebut laik dilaksanakan atau tidak.
Sementara Perbedaan dari ketiga dokumen tersebut lanjut Asri, adalah:
1. Skala Usaha dan/ atau Kegiatan
Misalnya kegiatan pengambilan air sungai sebesar 250 liter/ detik atau lebih, maka kegiatan tersebut harus menyusun amdal. Tetapi jika di bawah 250 liter/ detik, maka cukup dengan UKL-UPL. Atau misalkan direncanakan membangun gedung dengan luas lahan 5 Ha atau lebih, maka wajib menyusun amdal. Tetapi jika di bawah 5 Ha, maka cukup dengan amdal. Skala usaha dan/ atau kegiatan ini dapat dilihat dari luas lahan/ luas bangunan/ kapasitas produksi/ debit/ tinggi/ panjang/ volume/ tekanan/ besarnya tegangan dan lain-lain disesuaikan dengan jenis usaha dan/ atau kegiatannya.
2. Dampak terhadap lingkungan
Sudah jelas bahwa amdal dikhususkan untuk usaha dan/ atau kegiatan yang menimbulkan dampak penting. Dampak penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu Usaha dan/atau Kegiatan.
3. Format dokumen
Format Amdal mengikuti format yang ada dalam lampiran I, II dan III Permen LH No 16 Tahun 2012
Format UKL-UPL mengikuti format yang ada dalam lampiran IV Permen LH No. 16 Tahun 2012.
Format SPPL mengikuti format yang ada dalam lampiran V Permen LH No. 16 Tahun 2012.
4. Penyusun
Amdal disusun oleh penyusun yang telah memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal. Sedangkan UKL-UPL dan SPPL dapat langsung disusun oleh pemrakarsa usaha dan/ atau kegiatan.
5. Mekanisme Penyusunan
Amdal harus melewati tahapan penilaian amdal yang dilakukan oleh Komisi Penilai Amdal. Sedangkan UKL-UPL, di beberapa daerah mewajibkan presentasi/ ekspose sebelum dikeluarkan surat rekomendasi dan di beberapa daerah tidak mewajibkan ekspose. Sedangkan SPPL hanya mengisi form dan mendaftarkannya ke instansi lingkungan hidup.
Untuk lebih jelasnya, apakah suatu usaha dan/ atau kegiatan tergolong pada wajib amdal, UKL-UPL atau SPPL maka dilakukan penapisan sesuai Permen LH No. 5 Tahun 2012. Jika usaha dan/ atau kegiatan sesuai dengan kriteria dalam lampiran I Permen LH No. 5 Tahun 2012, maka wajib amdal, selain itu adalah wajib UKL-UPL atau SPPL. Dan untuk menentukan UKL-UPL atau SPPL maka dilakukan penapisan sesuai peraturan gubernur atau bupati/ walikota setempat.
“Itulah gambaran secara global mengenai Amdal, UKL-UPL atau SPPL. Namun hal itu kembali kepada masyarakat pemohon itu sendiri. Termasuk pembangunan-pembangunan yang dilakukan masyarakat. Jelas itu bulan letak kesalahannya bukan di Dinas terkait melainkan kesadaran masyarakat di dalam tertib administrasi seolah tidak mau di tempuh,” tegas Asri.
Asri tidak menyalahkan masyarakat atau pihak Desa atau Kecamatan, meski pun sebelumnya sudah sering dilakukan sosialisasi agar masyarakat bisa tertib di dalam penyelenggaraan pembangunan. Bila pun kurang jelas, Asri siap melakukan sosialisasi kembali asal ada yang mengundang dengan tujuan membenahi setiap pembangunan yang berada di wilayahnya.
Dari Karyono, alumni Akademi Tekhnik Pekerjaan Umum (ATPU), Minggu, 25/02, menyikapi, permasalahan pembangunan-pembangunan di Wilayah Kabupaten Bandung, salah satunya di Desa Soreang, memang makin marak. Seperti membuat Ruko (Rumag dan Toko) di pinggir jalan, pembangunan kontrakan-kontrakan, semuanya tidak menempuh prosedural. Mereka mendirikan bangunan dengan pemikiran bahwa ini adalah tanahnya, biaya sendiri, hingga tidak perlu meminta ijin orang lain. Bahkan RT dan RW pun dilewatinya apa lagi ijin tetangga. Kenyataan ini harus segera ditindaklanjuti dengan tegas oleh Pemkab Bandung melalui instansi terkait. Agar mereka tidak seenaknya mendirikan bangunan.
“Di Pemkab Bandung itu ada instansi yang menangani permasalahan Pengawasan dan Pengendalian Bangunan, jadi tertibkan sesuai aturan mengenai pembangunan-pembangunan tersebut. Karena perbuatan itu jelas sangat merugikan pemerintah Kabupaten Bandung,” pungkas Karyono. (Ki Agus N. Fattah).