Jakarta (Kontroversinews) – Tak sedikit orang mengernyitkan dahi kala Presiden RI Prabowo Subianto mengumumkan bantuan 1.000 ekor burung hantu kepada petani di Majalengka, Jawa Barat.
Di tengah kemajuan teknologi pertanian dan gelontoran pupuk maupun pestisida modern, langkah tersebut terdengar seperti langkah kuno, bahkan bagi sebagian orang dianggap lucu.
Namun di balik respons skeptis itu, terdapat sebuah fakta ilmiah dan bukti lapangan yang tak terbantahkan, yakni burung hantu adalah salah satu solusi alami paling efektif untuk memberantas hama tikus.
Tikus, dalam ekosistem pertanian, bukan hanya menggerogoti batang padi atau merusak benih, tapi juga menjadi simbol keputusasaan petani. Di banyak wilayah, hama ini menyerang secara masif, merusak puluhan hektare sawah hanya dalam hitungan malam.
Dalam satu siklus hidup, seekor tikus betina bisa melahirkan ribuan keturunan dalam satu tahun—sebuah populasi yang berkembang sangat cepat, sulit dihentikan, dan mampu menghancurkan panen dalam sekejap.
Presiden Prabowo melihat celah solusi yang kerap diabaikan, yaitu pendekatan hayati. Dan salah satu predator alami paling efektif untuk tikus adalah burung hantu dari jenis Tyto alba.
Langkah ini sesungguhnya bukan gagasan instan, melainkan strategi berbasis ekologi yang sudah lama diuji di berbagai daerah dan bahkan telah direkomendasikan para ahli.
Predator alami sahabat petani
Tyto alba bukan hanya menjadi simbol kehadiran keseimbangan ekosistem, tetapi juga bagian dari sistem pengendalian hama terpadu yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Di luar Majalengka, inisiatif penggunaan burung hantu sebenarnya sudah diterapkan sejak beberapa tahun terakhir oleh pemerintah daerah, petani, dan kelompok tani.
Pada 2024 lalu di Garut, Jawa Barat, Dinas Pertanian setempat mencatat telah membangun 280 rumah burung hantu atau rubuha yang tersebar di 42 kecamatan hingga Agustus 2024. Meski sebagian besar rumah tersebut belum dihuni, harapannya jelas yakni burung hantu akan datang, menetap, dan menjadi penjaga alami sawah petani. Satu rubuha diklaim bisa mengendalikan hama tikus pada areal 4 sampai 5 hektare sawah.
Langkah serupa juga telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, dengan membangun sebanyak 25 rubuha secara masif sebagai bagian dari gerakan konservasi.
Masih pada periode yang sama, 40 rumah burung hantu dibangun di Karawang sebagai bagian dari program nasional Kementerian Pertanian. Meskipun jumlahnya belum memenuhi rasio ideal, program ini disambut baik oleh petani karena mampu mengurangi biaya pestisida yang selama ini membebani produksi.
Sementara itu, di Rejang Lebong, Bengkulu, Kementerian Pertanian pada saat itu juga menyerahkan tiga pasang burung hantu kepada kelompok tani sebagai simbol pendekatan ekologis. Para petani diberi pemahaman bahwa setiap malam, burung hantu bisa membunuh lebih dari 20 ekor tikus, bukan hanya untuk makan, tetapi juga sebagai bentuk pertahanan teritorial.
Peneliti Ahli Madya sekaligus Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yudhistira Nugraha mengatakan burung hantu (Tyto alba) memiliki kemampuan memangsa tikus dalam jumlah signifikan.
Yudhistira menjelaskan bahwa seekor burung hantu dewasa memiliki kemampuan memangsa beberapa ekor tikus setiap malam. Namun, ia mengingatkan bahwa dalam kondisi ledakan populasi tikus, kehadiran burung hantu saja tidak akan cukup efektif.
Menurutnya, strategi pengendalian yang terpadu diperlukan agar populasi tikus dapat ditekan secara cepat sebelum akhirnya dikendalikan secara alami oleh predator seperti burung hantu.
Keberhasilan program ini, menurut Yudhistira, tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan aktif petani, edukasi yang memadai, serta dukungan regulasi dan fasilitasi pemerintah. Salah satu aspek penting adalah penyediaan rumah burung hantu, mengingat Tyto alba tidak membangun sarangnya sendiri.
“Rumah burung hantu menjadi kunci keberhasilan program konservasi ini sekaligus menjadi fasilitas penting bagi mereka untuk menetap dan berkembang biak,” katanya.
Fasilitasi ini juga sudah dilakukan oleh banyak pemerintah daerah dengan pendekatan swadaya maupun bantuan APBD. Di Kabupaten Garut, petani secara mandiri membangun rubuha karena menyadari dampaknya terhadap hasil panen mereka.
Namun demikian, penting pula diingat bahwa burung hantu bukan solusi tunggal. Mereka harus menjadi bagian dari sistem pengendalian hama terpadu. Penggunaan metode mekanis seperti grobyokan, pengemposan sarang, dan pemasangan perangkap juga tetap harus dilakukan untuk mencegah wabah atau outbreak.
Tantangan dan potensi masa depan
Meskipun telah terbukti efektif, pendekatan ini masih menghadapi sejumlah tantangan seperti rendahnya kesadaran petani di beberapa wilayah, masih adanya perburuan terhadap burung hantu, serta belum meratanya distribusi rubuha. Perlu ada kebijakan nasional yang lebih kuat untuk mendukung konservasi dan pemanfaatan predator alami ini dalam sistem pertanian.
Namun, dengan dorongan dari kepala negara langsung, peluang untuk mengarusutamakan pendekatan ini sangat terbuka. Dalam pidatonya, Presiden RI Prabowo menekankan bahwa kebijakan semacam ini adalah wujud kehadiran negara yang nyata.
“Kita juga harus cari obat antihama yang kita buat sendiri. Di daerah sini saya dapat laporan, hama tikus sangat pelik masalahnya, dan yang paling bagus sekarang katanya adalah burung hantu,” ungkap Prabowo.
Pernyataan itu membawa pesan penting bahwa teknologi tidak selalu harus bersifat modern dan mahal. Terkadang, solusi terbaik datang dari cara paling sederhana yang selaras dengan alam.
Burung hantu Tyto alba bukan hanya sekadar satwa malam pemangsa tikus, tetapi juga simbol kebijakan cerdas yang berpihak pada ekosistem, petani, dan masa depan pertanian berkelanjutan.
Apa yang semula dianggap remeh, nyatanya berubah menjadi kebijakan inspiratif. Jika ditangani secara serius, burung hantu bisa saja menjadi salah satu pahlawan tanpa tanda jasa di balik ketahanan pangan Indonesia. ***ANT