Kuningan, Kontroversinews | Keterlambatan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan dalam menanggapi laporan dugaan kasus perselingkuhan yang melibatkan Kepala Desa Padamenak dinilai memicu gejolak sosial di masyarakat. Laporan tersebut sebelumnya telah disampaikan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan keputusan Badan Permusyawarahan Desa (BPD) Padamenak.
Menanggapi hal tersebut, Nana Rusdiana, S.IP, selaku Ketua BARAK (Barisan Rakyat Kuningan), memberikan pandangan kritisnya pada Senin (27/10/2025) di Sekretariat FKGOL.
Menurut Nana Barak, keterlambatan respons Pemerintah Daerah dapat dianggap sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewajiban menegakkan hukum serta menjaga ketertiban masyarakat.
“Hal ini dapat memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan berpotensi memperburuk situasi sosial, bahkan menimbulkan konflik yang lebih luas di masyarakat,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa penanganan kasus semacam ini memerlukan transparansi, serta pemerintah daerah perlu memastikan bahwa proses pengambilan keputusan dilakukan secara adil dan sesuai hukum yang berlaku.
Lebih lanjut, Nana Barak menilai dugaan kasus asusila tersebut merupakan bentuk perbuatan yang menimbulkan keresahan di masyarakat. Karena itu, tindakan Kepala Desa Padamenak dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap larangan bagi Kepala Desa, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 huruf (e) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menyebutkan:
“Kepala Desa dilarang melakukan tindakan yang meresahkan sekelompok masyarakat Desa.”
Apabila dugaan tersebut dapat dibuktikan melalui pengakuan pihak korban, lanjutnya, maka Kepala Desa tidak memiliki alasan untuk menghindar atau menyangkal tuduhan yang ada.
Berdasarkan hal itu, Nana Barak menyatakan bahwa Kepala Desa Padamenak dapat dianggap memenuhi syarat untuk diberhentikan dari jabatannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf (d) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 66 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 82 Tahun 2015 mengenai Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa.
Nana Barak juga menegaskan, apabila dugaan kasus tersebut terbukti namun Bupati Kuningan sebagai pejabat Tata Usaha Negara tidak menerbitkan keputusan pemberhentian, maka persoalan tersebut berpotensi menjadi sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf (c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam konteks pendidikan politik (civic education) dan upaya membangun kesadaran hukum masyarakat, Nana Barak juga menanggapi pendapat hukum (legal opinion) yang menyebut bahwa kasus Kepala Desa Padamenak “kurang cukup bukti”.
“Pendapat itu tidak berdasar hukum, karena dalam kasus ini tidak ada penyelidikan dari pihak kepolisian. Pendapat tersebut terlalu kaku secara hukum, seolah pemberhentian Kepala Desa hanya dapat dilakukan bila ada putusan pengadilan pidana,” jelasnya.
Padahal, menurutnya, alasan hukum pemberhentian Kepala Desa tidak hanya terbatas pada putusan pidana, tetapi juga dapat didasarkan pada pelanggaran larangan Kepala Desa sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 66 Tahun 2017 Pasal 8 ayat (2) huruf (d). ***








