Etika Berpendapat Di Ruang Digital

oleh

Jakarta (Kontroversinews.com) – Tim kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih terus mengundang praktisi media sosial, kalangan aktivis, dan pihak terkait lainnya untuk menghimpun data dan masukan terkait UU itu sebelum diputuskan diajukan ke DPR untuk direvisi.

Meski demikian, menjaga kesehatan ruang digital tidak hanya dengan cara merevisi UU ITE. Ismail Fahmi sepakat agar UU ITE tak dianggap sebagai perenggut kebebasan berpendapat. Perlu ada edukasi terus menerus di masyarakat untuk menciptakan dunia maya yang sehat. Masyarakat harus mengetahui unggahan seperti apa yang berpotensi melanggar hukum. Founder dan Penggagas aplikasi Drone Emprit ini berpendapat polisi sebagai aparat penegak hukum tak perlu langsung reaktif menangkap pembuat unggahan yang berpotensi melanggar UU ITE.

Perlu ada tahapan edukasi terlebih dahulu sebelum dilakukan eksekusi. ”Itu salah satu edukasi melalui aparat kepolisian. Dari situ kemudian orang-orang yang mengikuti akun-akun milik Polri ini ‘kan kemudian akan belajar. ‘Oh, ternyata yang seperti ini yang melanggar’.

Dari situ saja sebenarnya termasuk dalam proses belajar langsung, jadi penegak hukum mengedukasi masyarakat,” kata Ismail Fahmi pada Antara di Jakarta.

Pada akhirnya, perlu ada peningkatan literasi digital masyarakat Indonesia. Direktur Informasi dan Komunikasi Perekonomian dan Kemaritiman, Kementerian Komunikasi dan Informatika Septriana Tangkary, mengatakan laju perkembangan teknologi komunikasi yang terjadi saat ini berjalan beriringan dengan meningkatnya potensi timbulnya hoaks.

Kesalahan informasi ini harus dicegah di seluruh lapisan masyarakat karena dapat berdampak pada kesalahan persepsi hingga tindakan yang merugikan seperti pencemaran nama baik hingga pelanggaran pidana lain. Dengan memperbaiki tingkat literasi digital ini, UU ITE pun tak akan sering-sering dipakai sebagai senjata. Sebab masyarakat memiliki kesadaran pribadi mengenai apa yang melanggar dan apa yang tidak, tanpa harus mengorbankan kebebasan berpendapatnya.***AS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *