Kuningan, Kontroversinews | Gonjang-ganjing terkait pencabutan moratorium perumahan di Kecamatan Kuningan dan Kecamatan Cigugur memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Pencabutan moratorium tersebut mendapat tanggapan keras dari salah satu praktisi hukum, Bang Abdul Haris, S.H.
Pada Selasa, 18 November 2025, di sebuah kafe dan resto di Kuningan, ia menyampaikan kritik tajam mengenai kebijakan tersebut.
Menurutnya, moratorium yang sebelumnya dikeluarkan oleh bupati terdahulu tidaklah terbit secara tiba-tiba.
“Moratorium itu pasti sudah melalui kajian, analisa, dan pertimbangan yang matang. Setahu saya, moratorium bupati terdahulu sesuai dengan Perda yang menetapkan Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi,” ungkapnya.
Sementara itu, Bupati Dian yang mencabut moratorium disebut juga didasari kajian akademis, rekomendasi Tim Evaluasi Kinerja Perencanaan Ruang Daerah (TEKPRD), isu backlog perumahan yang tinggi, surat bersama tiga menteri, serta pertimbangan investasi yang membaik.
Namun, Abdul Haris mengingatkan bahwa regulasi tetap harus menjadi pijakan.
“Kita juga perlu mempertimbangkan adanya Perda RTRW yang sudah dibuat Pemda dan DPRD. Perda itu harus ditaati, bukan dilanggar. Apalagi sampai sekarang RDTR Kuningan belum selesai,” tegasnya.
Ia menilai perubahan Perda RTRW merupakan proses yang rumit dan kompleks, terlebih mengingat status Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi di kawasan kaki Gunung Ciremai. Menurutnya, perubahan cepat terhadap Perda dapat menimbulkan dugaan adanya kerja sama kolektif-kolegial yang tidak sehat.
Abdul Haris juga menyoroti rumor terkait dugaan praktik suap dalam proses pencabutan moratorium.
“Rumor adanya dugaan suap dalam pencabutan moratorium layak menjadi sorotan dan pendalaman aparat penegak hukum, baik Polres maupun Kejaksaan Kuningan,” harapnya.
Sebagai praktisi hukum dan bagian dari masyarakat Kuningan, ia menyatakan mendukung investasi. Namun ia menekankan bahwa regulasi tidak boleh diabaikan.
“Regulasi seperti Perda dibuat menggunakan uang rakyat, bukan uang pribadi. Jadi harus dihormati.”
Selain itu, ia menyoroti persoalan lahan LP2B yang dinilai masih bermasalah.
“Penetapan lahan LP2B diduga dilakukan tanpa persetujuan pemilik lahan. Banyak masyarakat yang ingin membangun malah lahannya masuk LP2B. Tapi untuk kepentingan proyek pengusaha, lahan pertanian bisa tidak masuk LP2B. Ada apa ini?” pungkasnya. ***








