Sementara itu, PSI selaku tim pendampingan para orang tua siswa mengaku telah mendapatkan laporan mengenai penahanan ijazah ini hingga ratusan selama dua bulan terakhir. Tercatat 62 di antaranya secara tertulis dan 19 siswa sudah tervalidasi untuk dilanjutkan tindakan kepada dinas dan sekolah terkait.
“Di antara kasus-kasus yang diadukan variasi, penyebabnya juga beragam walaupun benang merahnya sama, tunggakan biaya. Tapi variasi besarannya berbeda-beda, ada yang Rp 350 ribu, ada yang jutaan sampe R p6 juta. Ada yang uang pembangunan dan macam-macam, itu sebatas yang kami terima,” kata Ketua DPW PSI Jabar Furqon Amini.
Siswa lulusan pun tak hanya dari tahun 2020 saja, beberapa di antaranya, kata Furqon, ada yang lulusan 2019 atau dua sampai tiga tahun yang lalu. Imbas dari penahanan ijazah ini senada dengan pernyataan orang tua.
Siswa tersebut dikatakannya, tidak dapat melamar pekerjaan, mengikuti pelatihan kerja, hingga melanjutkan pendidikan melalui beasiswa. Selain itu, menimbulkan demoralisasi semangat dan percaya diri siswa yang bersangkutan.
Dasar mengenai pendidikan termaktub dalam Pasal 31 UUD 1945 ayat satu menegaskan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Lebih lanjut, pada pasal dua menjelaskan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Selanjutnya pasal empat juga dijelaskan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Dinas Pendidikan Jawa Barat Wahyu Mijaya menyayangkan kasus seperti ini masih terjadi, terutama di sekolah negeri. Pihaknya pun memastikan penahanan ijazah di sekolah negeri tidak terulang kembali.