Lalengke menjelaskan bahwa kasus pemerasan dan pemalakan yang dilakukan penyidik Dittipideksus, AKBP Dr. Binsan Simorangkir, SH, MH, terhadap Leo Handoko, dkk di program kriminalisasi jilid pertama terhadap mereka adalah contoh real, faktual, dan aktual [9]. “Kasus sipemalak Binsan itu sesungguhnya hanyalah setitik salju di puncak gunung es yang mengambang di lautan luas. Badan gunung es yang luar biasa besarnya justru tidak terlihat, tidak terendus, tenggelam dalam sistem korup berjamaah yang sedang bercokol dalam lautan hitam dan kotor di lembaga tersebut,” beber lulusan program pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, England, ini dengan mimik prihatin.
Hepeng mangator nagara on (uang mengatur negara ini). Mungkin itulah yang ada dalam benak penyidik bergelar doktor bidang hukum Binsan Simorangkir bersama gerombolan se-aliran se-jamaah korupnya itu. Bagaimana tidak? Dengan tanpa perasaan sama sekali, yang bersangkutan memalak para terlapor Leo Handoko, dkk senilai Rp. 200 jutaan yang digunakan membangun ruko tiga pintu di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Pun, yang bersangkutan juga memeras Notaris Ferry Santosa Rp. 10 juta rupiah ketika melakukan penggeledahan di kantor notaris pembuat Akta PT. Kahayan Karyacon itu [10].
Tidak hanya penyidik Binsan, Kombespol Victor Togi Tambunan, SH, SIK juga kecipratan Rp. 20 juta atas perintah Binsan Simorangkir kepada Leo Handoko, dkk untuk menyetorkan dana ke atasannya yang saat itu menjabat Kasubdit IV Dittipideksus [11]. Pertanyaan liar publik, apakah mungkin hanya Binsan Simorangkir dan Togi Tambunan yang terindikasi melakukan pemerasan dan pemalakan melalui modus kriminalisasi (kasus perdata dipidanakan) dalam kasus Leo Handoko dkk versus Mimihetty Layani? Jika penyidik beserta Kasubditnya mendapat angpaw dari para pihak yang berperkara di kisaran 200-an juta, berapa kira-kira yang diraup oleh pihak terkait lainnya di lingkaran perkara itu? Jika Leo Handoko, dkk sebagai pesakitan saja bisa dengan mudah diperas dan/atau dipalak oleh oknum-oknum itu, mungkinkah Mimihetty Layani sebagai pelapor tidak memberikan kontribusi angpaw kepada para oknum terkait perkara tersebut? Wallahualam Bissawab…
Kembali ke persoalan pemanggilan Leo Handoko, dkk atas laporan kedua Mimihetty Layani, Lalengke mengatakan bahwa dirinya sependapat dengan Ketua Komite I DPD RI, H. Fachrul Razi. Tuduhan serius tentang penggelapan dalam jabatan, ujar tokoh pers nasional ini, adalah pasal yang dicari-cari dan dipaksakan oleh pelapor dan diaminkan oleh oknum Bareskrim Polri. Laporan Mimihetty dapat dengan mudah melenggang masuk Bareskrim dan ditangani oleh subdit yang sama dengan laporan pertama, memunculkan banyak pertanyaan.