Kontroversinews, – Kongres organisasi profesi terbesar di Indonesia PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) yang dimulai sejak tanggal 4 Juli lalu mulai mengalami dinamika. Banyaknya kejutan di hari ke-2 kemarin, membuat suasana forum menjadi cukup menegang.
Situasi ini terutama terasa ketika panitia kongres mempercepat jadwal dari yang seharusnya, sehingga para peserta khususnya sejumlah kandidat yang akan maju sebagai ketua umum terseret untuk melakukan beberapa tindakan percepatan untuk proses pencalonannya.
Kongres PGRI XXII ini menjadi sangat menarik karena proses pemilihan ketua umum yang selama ini seringkali dapat terlaksana dengan aklamasi, kali ini nuansa demokrasi via pemilihan suara/voting sepertinya tidak dapat terelakkan dengan munculnya 3 (tiga) kandidat ketua umum.
PLT Ketum PB-PGRI sejak tahun 2017, Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd., masih beritikad untuk melanjutkan kepemimpinannya. Dr. Agus Suradika, M.Pd. (Ketua PGRI DKI Jakarta) yang baru saja berhenti dari jabatan birokrasinya sebagai Ketua BKD DKI Jakarta. Serta Sekretaris Jenderal PB-PGRI Dr. M.Qudrat Nugraha, M.Sc., adalah figur-figur yang akan meramaikan bursa ketua umum kongres PGRI saat ini.
Mekanisme pemilihan internal PGRI memang cukup unik, yaitu para pemilik suara tidak hanya memilih ketua umum, tapi juga memilih posisi sekretaris jenderal, berikut memilih 9 posisi unsur ketua yang diusung oleh kandidat ketua umum. Mekanisme yang secara teknis membuat kandidat ketua umum harus menyusun formasi tersebut. Proses ini menjadikan situasi kongres sarat dengan lobby-lobby dan bargaining position, selain “perebutan” suara dari para pemilih pastinya.
Para kandidat ketum pun harus bekerja keras untuk menarik simpati para pemilih, karena para pemilik suara forum ini adalah para guru yang notabene merupakan kategori masyarakat terdidik dimana dalam melakukan pilhan pastilah cukup rasional.
Kondisi forum semakin memanas ketika terdapat interupsi dari delegasi DKI Jakarta pada sessi Tanggapan LPJ Ketum demisioner. Respon Ketum demisioner yang juga merupakan kandidat pada kongres ini, Ibu Unifah Rosyidi, cukup mengejutkan banyak pihak, karena disikapi dengan negasi bahkan hingga harus menurunkan aparat keamanan kongres untuk menetralisir delegasi DKI Jakarta yang dalam kongres kali ini diperkirakan akan berada di kubu kandidat Agus Suradika.
Analisa serta asumsi yang berkembang dalam forum pun beraneka. Dari persepsi bahwa kandidat kubu petahana yang dirasa berkarakter “single fighter” dan kurang demokratis, maupun asumsi bahwa kandidat Agus Suradika yang dianggap masih kurang jam terbang dalam organ PGRI berikut resistensi beliau dengan pemerintah saat ini. Wacana-wacana yang seaungguhnya memperkaya wawasan para pemilik suara dalam proses demokrasi, hanya kurang disikapi dengan bijak.
Banyaknya situasi dalam kongres PGRI XXII yang oleh forum dirasa menciderai prinsip-prinsip demokrasi ini, juga membuat kubu kandidat lain yang menggadang M.Qudrat Nugraha sebagai calon ketua umum menjadi cukup khawatir. Semantara M.Qudrat Nugraha sendiri seperti enggan berkomentar ketika para awak media mencoba mewawancarainya.
Secara singkat M.Qudrat Nugraha hanya berkata, “Dinamika ini kan bagian dari proses demokrasi di tubuh organisasi kami. Tapi saya pribadi, dan saya yakin seluruh peserta kongres tetap mempunyai spirit yang sama tentang kemaslahatan PGRI. Sejak dulu kultur PGRI sangatlah kekeluargaan, dan saya percaya akan tetap terus seperti itu. Karena telah terbukti kultur itulah yang membuat kami PGRI terus bertahan, eksis, bahkan tumbuh kembang dari zaman kemerdekaan hingga saat ini dalam kondisi apapun,” ucap M.Qudrat Nugraha yang mencoba tetap bersikap arif terhadap realitas serta dinamika pada Kongres PGRI XXII ini. (red)