Samosir | Kontroversinews.-Harga pupuk subsidi di wilayah kabupaten Samosir melebihi harga eceran tertinggi (HET). Petani mewakili 3 desa Kecamatan Pangururan pun berang.
Kelompok tani yang mewakili desa Aek Nauli, Parhorasan dan Sinabulan, pupuk subsidi urea yang mereka beli dari kios Rp 100 ribu sedangkan non subsidi Rp 125 ribu, walau sesuai HET, harganya Rp 90 ribu.
Penambahan harga itu lantaran dibebankan
biaya angkut (bongkar muat), biaya gudang, biaya administrasi, meski tidak tertulis dalam bon faktur. Para petani pun merasa ditipu.
Permasalahan itu mengemuka dalam pertemuan anggota Koptan dengan distributor pupuk Hemat Sagala, salah satu pemilik kios, petugas penyuluh pertanian yang difasilitasi Kades Aek Nauli Hongma Sitanggang, Kamis 20 Februari 2020.
Perbedaan harga pupuk subsidi itu telah berlangsung
sejak tahun 2011 silam. Setiap anggota kelompok dibebani biaya angkut dari setiap satu sak pupuk subsidi yang diterima.
Selain itu, pupuk subsidi juga langka, begitu juga dengan penyalurannya yang sering terlambat, belum lagi masalah pengolahan lahan, pembelian bibit, jasa pekerja. Alhasil produksi tanaman pun menurun drastis.
Di tengah konfrontasi itu, Hemat Sagala berdalih, bila kios mempertahankan harga HET sampai ke kelompok, pemilik kios penyalur tidak akan sanggup melayan alias merugi.
“Karena keuntungan kios untuk per sak hanya Rp 3 ribu dari harga produsen Rp 87 ribu,” katanya.
Kebijakan menambahi harga pupuk urea bersubsidi itu disebut Hemat Sagala sesuai hasil konsultasi pihaknya ke pemkab Samosir yang membidangi perekonomian.
Dalam Permentan No 1 tahun 2020 ucap Hemat Sagala,
harga HET hanya sampai di kios, bukan sampai di kelompok tani. “Terkait biaya angkut, adalah nego antara pemilik kios dengan kelompok tani, serta biaya angkut Rp 10 ribu bukan patokan,” ucapnya.
Penyaluran pupuk bersubsidi, diatur sesuai Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 70/MPP/Kep/2/2003 pada 11 Februari 2003, tentang pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian.
Sedangkan mengenai harga, untuk pupuk bersubsidi, harganya sudah diatur oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 47/Permentan/SR.310/12/2017 tentang alokasi dan HET pupuk bersubsidi.
Pupuk urea Rp 90.000,00 per 50 kg (1.800 per kg), pupuk ZA Rp 70.000,00 per 50 kg (1.400 per kg), pupuk SP-36 Rp 100.000,00 per 50 kg (2.000 per kg), pupuk NPK Rp 115.000,00 per 50 kg (2.300 per kg), dan pupuk organik Rp 20.000,00 per 40 kg (500 per kg).
Penjelasan distributor maupun pemilik kios dinilai petani bertele-tele. Tak terima, mereka pun meninggalkan pertemuan itu tanpa ada solusi.
“Kita yang menjemput pupuk ke gudang dengan membayar Rp 100 ribu per sak. Kita sewa truk lagi, intinya, sampai ke kelompok, kita mengeluarkan biaya sebesar Rp 110.000,00 per sak. Itu masih pupuk urea, belum yang lain seperti phonska,” tutur salah satu warga anggota kelompok tani Lambue, Desa Aek Nauli.
Sementara, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Samosir, Victor Sitinjak mengaku tak bisa menindak distributor lantaran bukti yang ditunjukkan anggota kelompok tani sesuai harga HET.
“Begini, yang mereka (kelompok tani) tunjukkan kan harga HET tanda buktinya. Jadi apa yang bisa kita lakukan, karena harga HET yang ditunjukkan sebagai tanda bukti pembelian yang sebenarnya. Kecuali ditunjukkan harga pembelian yang sesungguhnya melebihi harga HET. Kalau harga HET yang ditunjukkan, itu pas,” ujarnya, Jumat 21 Februari 2010 via sambungan telepon.
Victor mengatakan, selain sudah menurunkan anggota ke lapangan, pihaknya juga sudah memanggil distributor, bertemu dengan dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan (Koperindag), bersama bagian ekonomi Setdakab Samosir.
“Kita sudah memanggil pihak distributor, juga menunjukkan bukti yang sama. Kesepakatan ongkos angkut ada di kios. Harusnya yang bermasalah, kios. Memang yang menunjuk kios adalah distributor. Jadi ini masalah distribusi. Kita sudah bertemu dengan Koperindag dan bagian ekonomi untuk membicarakannya,” jelas Victor.
Ditanya mengenai harga pupuk yang seharusnya dari kios, Victor menyebut Rp 90 ribu. “Harus harga HET, dari kios mereka (kelompok tani) mengambil. Jadi ini, memang masih kita proses,” tukar Victor Sitinjak yang mengaku sedang tugas di Jakarta.(PS)