Balikpapan, Kaltim | Kontroversinews.– Indonesia memiliki tingkat literasi yang cukup rendah. Berdasarkan survei Most Literate Nation in The World, sebuah study yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016, Indonesia berada di peringkat ke 60 dari 61 negara yang diteliti. Untuk mengatasi masalah ini dan agar anak-anak tumbuh terbiasa membaca semenjak dini, pemerintah berusaha menggalakkan gerakan literasi sekolah atau disingkat GLS.
Agar GLS sukses, manajemen tingkat sekolah, terutama kepala sekolah perlu membuat program khusus membaca untuk semua warga sekolah. Program tersebut bisa berupa membaca 15 menit tiap hari sebelum pembelajaran, pengadaan taman baca atau pojok baca, pengadaan buku yang bervariasi dan yang tak kalah penting memberikan keteladanan dalam membaca.
Terkhusus program membaca 15 menit sebelum atau setelah pembelajaran, pemerintah sudah menuangkannya dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015. Sayangnya di lapangan, pelaksanaannya ternyata belum efektif.
“Kami melakukan sesekali, tapi saat ini terhenti, ” ujar Jaka Pramono, Kepala Sekolah SDN 006 Balikpapan disela-sela Pelatihan Manajemen Berbasis Sekolah yang diadakan program PINTAR kerjasama Tanoto Foundation dengan Dinas Pendidikan dan Kemenag Balikpapan yang dilaksanakan di Hotel Swiss Bell In (10 -11 Oktober 2018).
Hal yang sama diungkapkan oleh kepala sekolah SD 009 Balikpapan Tengah, ibu Noor Masyitah. “Kami belum efektif melaksanakan program tersebut, tidak rutin kami laksanakan,”ujarnya.
Menurut Khudori, Spesialis Pembelajaran SD Tanoto Foundation, sekolah perlu konsiten melakukan program membaca 15 menit sebelum pembelajaran dan menciptakan suasana agar program tersebut juga berjalan efektif. “Agar kegemaran membaca itu tumbuh di kalangan siswa, tentu saja kegiatan 15 menit tersebut harus rutin dilakukan. Namun tak kalah penting juga adalah bagaimana menciptakan suasana membaca yang menunjang,” ujarnya.
Menurutnya, kalau pun sekolah melaksanakan program 15 secara konsisten, kalau tidak didukung penciptaan suasana membaca yang menunjang, hasil program tersebut juga tidak maksimal. “Kalau yang satu sedang berusaha konsentrasi membaca, sedang pelajaran lain malah menciptakan suasana yang rebut, tentu saja akan mengganggu konsentrasi siswa yang membaca tersebut,” ujarnya.
Untuk itu, menurutnya, sekolah perlu menerapkan salah satu strategi membaca yaitu membaca senyap. “Artinya selama 15 menit tersebut, diusahakan semua siswa membaca dan gangguan suara diusahakan diminimalkan sedemikian rupa. Para siswa yang membaca, dengan cara ini, akan lebih konsentrasi dan lebih bisa menyelami apa yang dibaca yang pada akhirnya bisa menumbuhkan rasa senang dalam membaca, terutama terhadap buku-buku cerita,” ujarnya menambahkan.
Menurut Khudori, program membaca senyap merupakan salah satu strategi membaca telah banyak dilaksanakan di sekolah di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris dan lain-lain dan terbukti meningkatkan kegemaran membaca siswa. “Program seperti ini sudah jamak dilakukan di negara maju, beberapa sekolah di Indonesia juga sudah mulai melakukan. Ada juga strategi lain, yaitu membaca nyaring, yang lebih sering ditujukan untuk literasi kelas awal,” ujarnya.
Strategi membaca senyap hanya salah satu bagian dari pelatihan manajemen berbasis sekolah yang diorganisir oleh program PINTAR Tanoto Foundation pada 30 kepala sekolah dan pengawas sekolah mitra program. Selama dua hari pelatihan, selain langsung mempraktekkan membaca senyap selama 15 menit, mereka juga dikenalkan Strategi Pembelajaran Aktif, Manajemen Berbasis Sekolah dan Budaya Baca secara kesuruhan.
“Kepala Sekolah merupakan kunci kemajuan sekolah. Maju dan mundurnya sekolah sangat tergantung kepala sekolah. Kalau mau maju, program program di sekolah harus berjalan efektif,” ujar Kabid Sekolah Menengah Pertama Dinas Pendidikan dan Balikpapan, Syaiful Bahri, di sela-sela kegiatan tersebut. (Red)