Kuningan, Kontroversinews | Permasalahan yang melibatkan lembaga keuangan, baik perbankan maupun lembaga pembiayaan lainnya, semakin sering menjadi sorotan karena berujung pada kerugian di pihak masyarakat. Mulai dari penyitaan aset secara sepihak, hingga penggunaan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) atau BI Checking yang justru menjadi hambatan bagi masyarakat dalam mengakses layanan keuangan.
Contohnya, banyak warga yang telah melunasi pinjaman dari satu bank namun kesulitan saat mengajukan pinjaman ke bank lain. Ini terjadi karena adanya catatan kredit macet di masa lalu, meskipun statusnya kini sudah lunas.
Salah satunya dialami oleh Jajang, warga Desa Tambakbaya, yang pengajuan kreditnya ditolak oleh BNI Unit Cilimus dengan alasan adanya riwayat tunggakan SLIK OJK selama tiga bulan. Padahal, Jajang mengaku telah melunasi pinjamannya dan tidak lagi memiliki kewajiban di bank sebelumnya, yakni BRI.
Menanggapi hal ini, Bang Jhoni Panne, Ketua Lembaga Pemantau Korupsi Nasional (LPKN) Jawa Barat, memberikan tanggapan tegas. Saat dihubungi via sambungan telepon pada Kamis (10/7/2025), ia menyatakan bahwa buruknya catatan SLIK OJK memang kerap menjadi alasan penolakan pinjaman oleh lembaga keuangan.
“Namun perlu dicermati juga, tidak semua data SLIK OJK yang kurang baik harus langsung menjadi alasan pemutusan pengajuan. Harus dilihat skornya, status kreditnya masih aktif atau tidak, dan tingkat kolektibilitasnya, apakah di level 3, 4, atau 5,” ujar Bang Jhoni.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya koordinasi antara lembaga keuangan, OJK, serta negara dalam menyikapi persoalan ini. “Kami dari LPKN menilai bahwa perlu adanya forum kajian dan dialog antara semua pihak, termasuk negara. Di tingkat daerah, kedaulatan daerah harus ditegakkan. Karena jika lembaga keuangan yang beroperasi di daerah memiliki konflik dengan masyarakat, itu akan mengganggu stabilitas sosial dan kondusivitas daerah,” tegasnya.
Bang Jhoni juga menyoroti praktik-praktik bermasalah lainnya di lembaga keuangan, seperti penyalahgunaan dana Kredit Usaha Rakyat (KUR), pinjaman fiktif, mafia lelang, hingga pengelolaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang tidak transparan.
“Jangan sampai masyarakat kecil yang ingin berusaha dipersulit karena status SLIK OJK-nya, sementara oknum pengusaha yang bermasalah malah dipermudah karena ada ‘uang pelicin’,” sindirnya.
LPKN, lanjutnya, telah menemukan banyak kasus semacam ini. “Kami sebagai lembaga pemantau korupsi siap membantu masyarakat yang dirugikan oleh praktik-praktik tidak adil dari lembaga keuangan.
Ia juga menegaskan, “Seribu regulasi tidak akan menyelesaikan masalah jika tidak disertai komunikasi yang efektif. SLIK OJK bukan satu-satunya syarat mutlak dalam proses pengajuan pinjaman. Ini negara hukum, dan ada aturan yang mengatur.”
Di akhir pernyataannya, Bang Jhoni kembali menekankan pentingnya kedaulatan daerah.
“Kedaulatan daerah harus ditegakkan agar masyarakat terlindungi dan tidak menjadi korban kesewenang-wenangan lembaga keuangan. LPKN siap mendampingi dan memberikan bantuan hukum bagi masyarakat yang terdzalimi. Kita akan bongkar dan berantas praktik-praktik curang di dunia keuangan,” pungkasnya. *** Uus (Boy)