Kab Bandung | Kontroversinews.- Alih fungsi lahan tak melulu soal lahan pesawahan dijadikan pemukiman atau bangunan beton saja, melainkan marak juga pada lahan hutan yang digunduli dan dijadikan lahan pertanian sayuran dan lainnya. Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian merusak kelestarian alam dan berpotensi menyebabkan terjadinya bencana alam seperti longsor dan banjir. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan produksi pertanian ada cara yang bisa dilakukan tanpa harus merusak pohon atau tanaman keras yang ada disebuah lahan hutan atau kebun, yakni dengan menerapkan konsep agroforestri.
Dewan pembina Wahana Lestari Anak Nusantara (Walatra), Eyang Memet mengatakan, agroforertri adalah sebuah sistem penggunaan lahan untuk usaha tani dengan mengkombinasikan pepohonan tanaman keras yang berfungsi sebagai resapan air dan mencegah terjadinya longsor dengan tanaman pertanian seperti sayuran, buah buahan dan tanaman lainnya. Dengan begitu produksi pertanian untuk tujuan ekonomi bisa tercapai dengan tidak mengabaikan fungsi konservasi lingkungan.
“Jadi konsepnya bagaimana memenyamatkan isi perut atau memenuhi kebutuhan ekonomi tanpa merusak alam. Mari kita buktikan dengan sistem agroforestri yang kami terapkan, yakni menanam cengek (cabe rawit), terong, waluh (labuh siem), kopi, jeruk diantara pepohonan kayu, hasilnya tidak kalah bagus dengan ditanam di lahan yang pepohonan besarnya telah dibersihkan (land clearing),”kata Eyang, Rabu (14/2/18).
Dikatakan Eyang, pertanian agroforestry yang dikembangkannya sejak 2011 lahan seluas 6 hektar di blok Tanjak Nangsi Desa Cibodas Kecamatan Pasirjambu itu, ditanami oleh 130 jenis tanaman keras seperti rasamala, hantap, kihoe, jamuju, kicangkudu, kijeruk, manglid, picung, ganitri, saninten dan masih banyak jenis lainnya. Dibawah pepohonan rindang yang rata tingginya enam meter itu ditanami tanaman pertanian, yakni cengek, terong, jeruk, waluh dan kopi.
“Kalau jenisnya ada 130 tanaman, kalau jumlahnya dilahan seluas 6 hektar itu totalnya ada sekitar 300 ribu batang pohon. Selama ini semua tanaman bisa tumbuh dengan baik, bahkan beberapa waktu lalu pohon kayunya sudah dipanen 50 batang dan dijual untuk suatu keperluan. Belum lama ini saya juga menanam cengek, jeruk dan kopi. Kopi sekarang sudah mulai belajar berbuah, kalau cengek ada 3000 pohon, mudah- mudahan saat lebaran sudah bisa panen. Kalau cengek itu bisa panen setahun dua kali, semoga saja saat panen harganya lagi bagus,”ujarnya.
Tujuan dari pengembangan agroforestri ini, kata Eyang, untuk memberikan contoh sekaligus mengedukasi masyarakat. Khususnya para petani yang selama ini lebih banyak menanam sayuran dan buah buahan tanpa memerhatikan kelestarian dan keseimbangan alam. Akibatnya, kerusakan hutan terus terjadi, karena memang bersaing dengan kebutuhan hidup para petani yang memilih menanam tanaman yang bisa cepat dipanen (instan). Sehingga, mengabaikan pentingnya konservasi alam yang selama ini memberikan mereka kehidupan.
“Ini sebagai percontohan untuk masyarakat. Supaya mereka paham, bahwa konservasi lingkungan itu sama pentingnya dengan isi perut. Dan kedua hal ini bisa dilakukan bersamaan serta memiliki manfaat luar biasa,”katanya.
Eyang melanjutkan, pengembangan agroforestri ini akan terus dilakukan. Di blok Tanjak Nangsi tahap ketiga tengah dilakukan. Ia berharap pengembangan ini bisa terus berlanjut hingga mencapai 35 hektar lahan di blok tersebut. Tujuannya agar lahan gundul yang selama ini hanya dimanfaatkan dengan menanam tanaman sayuran saja, bisa kembali hijau dengan rimbunnya tanaman keras.
“Agroforestri ini juga berfungsi menyamatkan berbagai jenis tanaman yang hampir punah. Termasuk beberapa jenis pohon yang selama ini menjadi icon Bandung Selatan, seperti saninten, rasamala dan lainnya. Para peneliti dan mahasiswa dari IPB juga sering datang kalau mau penelitian. Nah disinilah tempatnya yang disebut arboreuteum atau labatorium alam yang terdapat berbagai jenis pohon,”katanya.( Lily Setiadarma).