RANCABALI | Kontroversinews – Desa Alamendah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung sempat dikenal masyarakat sebagai sentra budidaya stroberi pada periode 2000 hingga 2010an. Hampir 90 persen petani disana merupakan pembudidaya atau penanam stroberi.
Namun perlahan, budidaya stroberi di kawasan tersebut termasuk di Pasirjambu dan Ciwidey mulai tidak dilirik petani. Sebab, jika dulu tanaman stroberi bisa bertahan tiga tahun. Saat ini hanya enam bulan kemudian mati. Penyebabnya adalah virus.
Sampai saat ini belum ada obat yang bisa mengalahkan virus tersebut. Melihat kondisi itu, sebagian besar petani memilih kembali bercocok tanaman palawija seperti seledri, bawang daun, tomat dan cabai. Namun, ada yang juga tetap menanam stroberi dengan jumlah yang terbatas.
Diluar budidaya stroberi dan palawija, salah seorang petani H. Awan Rukmawan membudidayakan jeruk Dekopon yang berasal dari Jepang. Buah jeruk yang memiliki ukuran besar dan tidak memiliki biji ini relatif cocok dikembangkan di kawasan yang berada di ketinggian 1200 sampai 1400 mdpl.
“Saya terinspirasi melihat budidaya jeruk Dekopon di Desa Lebak Muncang 2013 lalu. Terus lihat kondisi cuaca dan tanah yang sama (di Alamendah) langsung berminat budidaya,” ujarnya saat ditemui di lahan budidaya Jeruk Dekopon Desa Alamendah, Kamis (25/7).
Melihat itu, ia mengaku langsung membeli bibit jeruk Dekopon di Lembang yang saat itu dijual dengan harga Rp 110 ribu perbibit dan memiliki tinggi 80 cm. Katanya, pada 2013 ia membeli 300 bibit jeruk dekopon kemudian tahun berikutnya sebanyak 300 bibit dan pada 2015 sebanyak 600 bibit.
“Sekarang luas lahan jeruk Dekopon ada tujuh hektar. Satu hektar itu ada 600 pohon. Satu pohon bisa berbuah 100 kilogram. Totalnya 4200 pohon untuk 7 hektar. Masa tanam sendiri sampai panen 3 tahun,” katanya.
Ia mengungkapkan, saat ini sebanyak 20 orang petani ikut bergabung terlibat dalam usahanya tersebut. Menurutnya, produksi jeruk tiap bulan mencapai 2 ton dengan berat jeruk bervariasi dari 2 ons sampai 9 ons. “Kelebihan jeruk Dekopon, rasa lebih enak, segar, besar dan tanpa biji,” ungkapnya.
Dengan harga jual Rp 50-60 ribu perkilogram, H. Awan mengatakan produk jeruk Dekopon sudah dipasarkan ke Jakarta, Bali, Bandung, Kalimantan dan ke pasar modern. Namun, pasar luar negeri sendiri belum coba dikirimkan.
Selain ukuran besar dan tidak memiliki biji, ia mengatakan khasiat jeruk sendiri bisa mengobati diabetes, wasir dan obat kolesterol jika dikonsumsi rutin. Beberapa konsumen sempat datang ke lokasi lahan untuk langsung memetik sendiri jeruk Dekopon.
“Konsumen rata-rata senang dengan jeruk dekopon, kemarin kapolda sempat datang dan memesan 50 kilogram perminggu. Ada juga dari dinas dan lainnya,” ungkapnya.
Dirinya menambahkan saat ini bibit jeruk Dekopon lebih murah yaitu Rp 60 ribu perbibit. Menurutnya, budidaya Jeruk Dekopon pernah dilakukan di Desa Tenjolaya, Desa Panundaan dan Desa Lebak Muncang. Namun, di tempat tersebut hanya sedikit lahan.
H.Awan mengatakan jeruk Dekopon di luar negeri dijual Rp 250 ribu perkilogram. Melihat potensi bisnis tersebut, ia berharap bisa menembus pasar luar negeri. Saat ini kendala yang dihadapi yaitu kebanyakan penyuka jeruk dekopon adalah kelas menengah ke atas karena harganya yang tinggi
Disela-sela menanam Jeruk Dekopon, dirinya pun menanam tumpang sari yaitu stroberi. Jika dulu menanam stroberi bisa menghasilkan 5 hingga 8 ton perhari maka saat ini hanya bisa mencapai 500 kilogram. Sejauh ini dirinya pun belum pernah mendapatkan bibit jeruk Dekopon dari pemerintah. (Lily Setiadarma)