Dia mengatakan kejahatan semacam itu melibatkan penipu yang menciptakan “kelangkaan yang menyebabkan ‘nilai’ dari barang yang mereka jual bisa memotivasi konsumen bertindak cepat, tanpa mempertimbangkan lebih jauh”.
Misalnya, mengiklankan sesuatu dengan penawaran hanya satu kali, tambahnya, atau produk dengan harga atau edisi terbatas, atau “mendorong untuk membeli sesuatu yang ‘harus’ dibeli sekarang, meski Anda belum pernah melihat produknya dalam kehidupan nyata”.
Barclays mengatakan jumlah rata-rata kerugian seseorang dari modus penipuan pembelian mencapai Rp18 juta.
Namun, penelitian menemukan penipuan yang menargetkan orang-orang yang berinvestasi mengakibatkan kerugian yang lebih banyak.
Angka penipuan meningkat sampai 17% dalam tiga bulan terakhir, sementara upaya menipu orang meningkat 70% dalam tiga bulan terakhir di 2021.
Penipuan dengan meniru identitas, kata Dr Brooks, melibatkan penjahat yang mengeksploitasi suatu sifat di lebih dari sepertiga orang Inggris yang disurvei. Para korban cenderung memenuhi permintaan jika mereka yakin itu berasal dari lembaga terkenal, seperti bank, polisi, atau NHS.
“Dalam situasi ini, para penipu akan memanfaatkan wewenang dari lembaga yang bersangkutan untuk menanamkan rasa takut pada korban mereka,” katanya.
“Mungkin dengan mengatakan bahwa rekening bank mereka telah disusupi, mereka terlambat membayar, atau mereka akan didenda jika mereka tidak membayar dalam jumlah penuh. Secara psikologis, banyak dari kita akan mempercayainya begitu saja karena itu berasal dari lembaga terkemuka.”
Sementara itu, penipuan investasi, kata Barclays, membuat korban kehilangan rata-rata Rp300 juta dalam tiga bulan terakhir di 2021.
Dr Brooks mengatakan para penipu itu “ahli dalam mengeksploitasi fakta bahwa orang ingin mengembangkan aset mereka, dan terkadang kita mengesampingkan melakukan pengecekan yang lebih mendalam demi mendapatkan peluang jumlah uang kembali yang tinggi”.