Bahasa Batak Terancam Punah dari Bona Pasogit.

oleh
oleh

Samosir | Kontroversinews.- Acara seminar bahasa batak oleh grup polambok pusu pusu Santabi godang ma loloan nanihormatan, tangan do botohon, ujung nai ma jari jari, molo adong sidohonon jumolo iba marsantabi artinya dengan segala kerendahan hati panitia penyelenggara Seminar Bahasa Batak oleh GP3 mengawali acara seminar ini dengan falsafah Batak Toba yang artinya tangan menyatu dengan lengan yang berujungkan jemari, jika kita hendak berkata baiklah kita hati hati dan(permisi).

Demikian kalimat pembuka yang dituturkan oleh Ketua Panitia Seminar Bahasa Batak oleh Group Palambok Pusu Pusu Anna Elfrida Siahaan di Balige, Sabtu 10/11/2018.

Menurut laporan Ketua Panitia acara Seminar Bahasa Batak Grup Palambok Pusu Pusu menghadirkan 5 narasumber berlatar belakang penulis,  sastrawan dan wartawan, Dosen Universitas Nommensen , Guru Besar USU, Kadisdik Tobasa, Ketua STT Guru Huria HKBP diikuti oleh 300 orang peserta yang seluruhnya bertujuan bagaimana menghindari kepunahan bahasa batak dan budayanya,selain dari Toba Samosir peserta hadir juga dari berbagai daerah seperti Labusel, Lampung, Kalimantan dan Jakarta.

“Saat ini peserta hanya bisa ditampung sekitar 300 orang mengingat keterbatasan waktu dan dana, namun kedepan kita berharap Pemkab Toba Samosir ikut terbeban untuk visi GP3 ini”, katanya.

Dalam arahannya Ketua GP3 sekaligus narasumber M. TANSISWO Siagian mengatakan dirinya  merasa terpanggil untuk melestarikan bahasa batak Toba yang hampir mengalami degradasi (terkikis) Kaget juga ketika dirinya pulang kampung ke Balige, kota kecil di pinggir Danau Toba. Anak-anak kecil sudah berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, logat Batak. Padahal beberapa tahun sebelumnya, waktu aku merantau ke Jakarta, belum ada anak-anak yang berbahasa Indonesia di kampung.

“Bagi saya ini perubahan yang sangat cepat. Di masa aku SD sampai SMA, bahasa Indonesia masih tergolong “asing” dan “elite” di sini. Bahasa Indonesia paling banter hanya digunakan oleh guru di sekolah, dan segelintir warga pendatang “, katanya.

Dijelaskannya  ketika mengikuti acara adat maupun budaya di kampung, ketika melayat orang meninggal, lagi-lagi kita tertegun. Pasalnya, rombongan anak-anak SMA, teman sekelas anak almarhum yang melayat rata-rata sudah menggunakan bahasa Indonesia saat menyampaikan ucapan belasungkawa dan penghiburan. Dalam tradisi orang-orang Batak, terlebih di kampung halaman (bona pasogit), merupakan hal yang biasa jika pelayat menyempatkan diri mengucapkan kata-kata penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan.

“Rombongan anak sekolah yang kita sebut di atas pun demikian. Juru bicara mereka menyampaikan kata-kata belasungkawa dalam bahasa Indonesia. Sedikit ironis, sebab acara tersebut masuk dalam ranah budaya Batak, tetapi malah menggunakan bahasa Indonesia,” tuturnya.
Menurut badan Unesco ancaman degradasi bahasa ibu atau daerah semakin mengkhawatirkan, istimewa bahasa di Indonesia sangat rentan dengan kepunahan.

Berdasarkan hasil penelitian, jumlah bahasa dan sub-bahasa di seluruh Indonesia mencapai 652 bahasa (kompas.com, 1/9/2012). Namun hebatnya semua penutur bahasa itu bisa melebur dalam satu bahasa nasional: bahasa Indonesia!

Kita memang harus bangga dan bersyukur memiliki bahasa persatuan, namun sangatlah tercela apabila generasi muda mulai menyisihkan bahasa leluhur mereka sendiri, dalam konteks ini bahasa Batak. Sebagai bangsa Indonesia kita wajib menguasai bahasa Indonesia secara baik dan benar. Namun sebagai orang Batak, kita pun harus mahir marhata (berbahasa) Batak.

Berdasarkan pengamatan Group Palambok Pusu Pusu  kemampuan orang Batak yang lahir dan besar di tanah rantau, secara khusus di Jakarta dan sekitarnya, sangat memprihatinkan. Bisa jadi hal ini disebabkan tidak adanya niat orang tuanya untuk “mewariskan” bahasa Batak kepada anak-anak. Banyak pasangan suami-istri yang sebenarnya “penutur asli” bahasa Batak, tapi jarang berkomunikasi menggunakan bahasa leluhur ini, apalagi mengajak putra-putrinya berbincang-bincang untuk mengajari.

Akibatnya anak-anak tidak terbiasa, dan akhirnya tidak peduli. Ironisnya, rata-rata anak muda itu bangga mengaku sebagai orang Batak, namun apabila tidak fasih berbahasa Batak, apa pula arti kebanggaan itu?

Tiada beda dengan masyarakat dari daerah lainnya, masyarakat Batak di perantauan selalu membentuk sebuah kumpulan atau paguyuban. Anggotanya secara berkala dan rutin mengadakan pertemuan. Bila orang itu lahir dan besar di kampung halaman, maka kemampuannya berbahasa Batak tentu tidak  berkurang sedikit pun. Dalam berinteraksi mereka memang menggunakan bahasa Batak bercampur bahasa Indonesia.

Namun saat diminta memimpin doa, atau memberikan kata-kata penghiburan (saat mengunjungi keluarga yang baru berduka), kebanyakan sudah menggunakan bahasa Indonesia, sekalipun dia sebenarnya lancar dan fasih berbahasa Batak. Terasa sekali bahwa mereka sudah merasa lebih nyaman dan percaya diri menggunakan bahasa Indonesia ketimbang bahasa Batak.

Padahal, bisa jadi, dulu saat tiba di Jakarta untuk pertama kali, mereka belum lancar berbahasa Indonesia. Yang lebih menyedihkan, rata-rata anak-anak mereka sudah tidak bisa lagi berbahasa Batak secara aktif! Sebagian ada yang pasif, namun ada yang sama sekali sudah “hilang”.

Dengan kenyataan tersebut, kita patut bertanya: apakah masih ada masa depan untuk bahasa Batak? Bila generasi muda di rantau sudah sedikit yang fasih berbahasa Batak secara aktif, apakah di masa depan bahasa Batak masih terdengar di acara-acara adat? Suatu acara adat Batak  harus dilaksanakan dengan bahasa Batak pula. Di pesta pernikahan adat Batak, penyampaian kata-kata nasihat (umpasa) punya peran penting. Dan untuk mengatasi kepunahan atau terkikisnya budaya dan bahasa batak itu GP3  mengajak seluruh stake holders agar bekerja bersama mengantisipasi punahnya bahasa batak dan budayanya.

Nestor Riko Tambun mengatakan bahwa adat Batak tanpa bahasa Batak jelas sudah tidak sempurna. Bila kita masih mencintai budaya nenek moyang yang luhur itu, maka kita harus menjaga dan melestarikan bahasa Batak. Bila tidak ada langkah-langkah serius dan berkesinambungan mendidik anak-anak berbahasa Batak, maka bahasa daerah yang tergolong 5 besar di Indonesia ini, suatu saat akan punah!

“Kita mesti belajar dari sejarah, di mana banyak bahasa besar di masa lampau, kini hanya tinggal catatan. Bahasa Ibrani, bahasa Latin, bahasa Sansekerta adalah contoh bahasa-bahasa yang pernah berjaya di masa lampau akhirnya tinggal kenangan. Bila orang-orang Batak tidak peduli, maka bahasa Batak hampir pasti akan bernasib sama dengan bahasa-bahasa kuno yang sudah “almarhum” itu.  Maka untuk menghindari gambaran yang suram ini, mulailah kita peduli dengan rutin menggunakannya di rumah, sehingga anak-anak pun bisa belajar,” paparnya.(ps)

Response (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *