Kab Bandung | Kontroversinews.- Pegiat lingkungan Kabupaten Bandung, Son Son Garsoni mempertanyakan penanganan dan pengelolaan sampah diberbagai pasar tradisional yang dilakukan pemerintah. Penanganan sampah di pasar tradisional di Kabupaten Bandung masih menggunakan konvensional dan belum memperhitungkan biaya pengelolaan secara matang.
“Dalam UU No.18 tahun 2008 Tentang Persampahan diatur bahwa tempat komersial wajib melakukan pengelolaan sampahnya sendiri. Kalau UU tersebut diterapkan dan diperkuat juga oleh Perda, tentunya pengelolaan sampah pasar di Kabupaten Bandung tidak akan terus terusan menimbulkan masalah. Karena yah pasar sebagai tempat komersial itu wajib mengelola sampahnya sendiri, kalau sekarang kan pengeloaan sampahnya oleh dinas pasar sedangkan urusan sampahnya sama Dinas Lingkungan Hidup,”kata Son Son, Kamis (4/10/18).
Seharusnya, kata Son Son, pemerintah juga memiliki perhitungan biaya pengelolaan sampah yang baik. Sehingga, dana yang ada bisa mencukupi biaya pengelolaan sampah. Karena memang pengelolaan sampah, apalagi yang menggunakan teknologi tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit.
“Contohnya untuk pengelolaan sampah di TPA Legok Nangka itu pengelola disana mematok tapping fee sebesar Rp 381 ribu per ton, kalau sama biaya transportasi yah sekitar Rp 600 ribuan per ton lah. Nah biaya itu yang seharusnya diperhitungkan oleh pengelola pasar. Jadi mereka harus memperhitungkan berapa retribusi dari pedagang, upah pegawai kebersihan, biaya transportasi dan lainnya. Saya rasa pemerintah belum melakukan hal tersebut, sehingga biaya untuk pengelolaan sampah pasar ini selalu morat marit dan terkesan serabutan seperti enggak punya program kerja yang jelas dan permanen,”ujarnya.
Selain memperhitungkan biaya pengelolaan, lanjut Son Son, upaya yang bisa dilakukan oleh pengelola pasar, yakni membuat atau menyediakan tempat pengelolaan sampah mandiri dilingkungan pasar. Kata dia, banyak teknologi pengelolaan sampah yang bisa digunakan. Salah satunya adalah teknologi komposting sampah organik. Apalagi, sampah pasar itu 80 persen diantaranya adalah organik yang mudah didaur ulang menjadi kompos.
“Banyak teknologi pengeloaan sampah saat ini. Yah salah satunya teknologi komposting yang paling murah tapi efektif. Tapi ini bisa dilakukan kalau pengelola pasarnya punya good will atau niat baik dan punya tempat untuk melakukan pengolaannya,”ujarnya.
Son son melanjutkan, pengelolaan sampah pasar tradisional di Kabupaten Bandung sebuah pasar tradisional yang digadang gadang oleh pemerintah agar bisa bersaing dengan pasar modern. Namun disatu sisi, pemerintah juga terkesan tidak sungguh sungguh dalam pengelolaan dan penataan pasar tradisional tersebut. Hal ini menyebabkan pasar tradisional sangat sulit bersaing dengan pasar modern.
“Yah kalau pasarnya kumuh, becek ditambah tumpukan sampah dimana mana bagaimana bisa bersaing dengan pasar modern. Justru orang semakin enggan datang ke pasar tradisional dan lenih nyaman datang ke pasar modern,”katanya.
Diberitakan sebelumnya, puluhan pedagang di Pasar Sayati Indah di Kecamatan Marhayu Kabupaten Bandung terpaksa tidak bisa berjualan sebab lokasi kios yang digunakan untuk berdagang tertutupi tumpukan sampah. Hal ini terjadi karena pengangkutan sampah yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Kabupaten Bandung berjalan tidak rutin.
Salah seorang pedagang yang tergabung di Himpunan Pedagang Pusat Pembelanjaan Sayati Indah (HIPPPSI), Ahmad (51) mengatakan sampah yang menumpuk di Pasar Sayati dibiarkan begitu saja. Sampah yang menggunung sudah lama terjadi dan tidak sering diangkut bak sampah.
“Sebanyak 20 kios tertutup sampah, tidak beroperasi akibat sampah yang menumpuk. Disini itu, kalau sampah diangkut dan bersih terus lama lagi enggak diangkut,” katanya, Rabu (3/10/18).
Ahmad mengatakan, Senin (1/10) kemarin tumpukan sampah dibagian belakang pasar Sayati akan diangkut. Namun, hingga hari ini tidak ada kejelasan apakah akan diangkut sebab sampah tetap menumpuk. (Lily Setiadharma)