Dalam proposal RPKJ tersebut terdapat 3 program yang diusulkan oleh Manajemen AJS sebagai Upaya Penyehatan dan Penyelamatan BUMN Asuransi Jiwasraya, yakni sebagai berikut:
Pertama: Penegakan Hukum
Upaya penegakan hukum saat ini sedang berproses di Kejaksaan Agung. Perkembangan terkini, sudah diputuskan vonis hukuman seumur hidup terhadap para terdakwa yang diduga terindikasi melakukan Tindak Pindana Korupsi (Tipikor) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dengan sangkaan kerugian negara mencapai 16,8 triliyun.
Atas kasus dan vonis itu banyak kalangan mempertanyakan, apakah Perhitungan Kerugian Negara sebesar 16,8 triliyun, yang harus segera ditutup oleh Pemerintah RI, itu benar sebagai uang milik negara atau dana milik para pemegang polis? Jika dana 16,8 triliyun itu merupakan milik para pemegang polis, apakah itu termasuk sebagai bentuk kerugian negara?
Upaya penyelamatan dan penyehatan Jiwasraya menimbulkan paradok’s karena penyelesaian bail-in (talangan) dana sebesar antara 22-26 triliyun dari negara harus mampir dulu diberikan ke perusahaan pembiayaan BPUI/IFG sebagai induk Holding BUMN Perasuransian dan Penjaminan. Jika terdapat kerugian negara sebesar 16,8 triliyun berdasarkan audit investigasi BPK, tentunya yang ditalangi dananya dari pemerintah seharusnya sebesar kerugian saja, bukan sebesar 22-26 triliyun.
Hal ini tentunya menimbulkan dugaan-dugaan yang tidak baik pada publik. Muncul spekulasi dan opini yang pada akhirnya dapat diartikan sebagai pemborosan uang negara dalam aksi penyelamatan Perseroan Jiwasraya. Sebagian masyarakat justru berprasangka lebih jauh bahwa kebijakan bail-in tersebut sengaja dilakukan untuk membuka peluang adanya bancakan baru dari dana talangan Jiwasraya dalam waktu dekat.
Kedua: Aksi Penyelamatan Korporasi (Corporate Action)
Dalam implementasinya, PT. Asuransi Jiwasraya bersinegeri dengan beberapa BUMN membentuk Anak Usaha dari BUMN Asuransi Jiwasraya yang dinamakan PT. Jiwasraya Putera dengan tujuan menjadi sekoci penyelamat arus kas keuangan bagi induknya yang sedang mengalami kesulitan likuiditas saat itu. Namun sangat disayangkan, Jiwasraya Putera yang baru seumur jagung berdiri harus kandas di tengah jalan. Ini dibuktikan dengan adanya pencabutkan ijin operasional oleh OJK pada 25 September 2020. Dari peristiwa tersebut, dapat disimpulkan bahwa program Corporate Action telah gagal, yang oleh karena itu kinerja Direksi Jiwasraya seharusnya dievaluasi oleh Kementerian BUMN, bukan justru dilindungi dan didukungnya. Hampir dipastikan ada sesuatu misi terselubung dan disembunyikan di balik semua ini.
Publik patut meminta keterangan terkait siapa yang mengangkat dan menempatkan Hexana Tri Sasongko, yang berasal dari profesional bankir, untuk memimpin Jiwasraya. Hexana sebagai Direktur Utama Jiwasraya dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab yang menimbulkan masalah baru di tubuh Perseroan Jiwasraya sehinga terjadi prahara yang merusak industri asuransi tanah air. Ketika masalah yang lama belum selesai dalam upaya penyehatan Perseroan Jiwasraya, seharusnya dicarikan pengurus yang memiliki pengetahuan dan keahlian di bidangnya sesuai dengan porsi kapasitas jabatan pada Industri Perasurasian. Bukan justru menempatkan orang yang awam dan tidak memiliki rekam jejak pengalaman pada bidang industri yang dipimpinnya. Sehingga dampaknya menimbulkan masalah tambahan bagi perusahaan akibat tidak profesionalnya Pejabat Direksi Jiwasraya yang ditempatkan saat ini.
Penunjukan Hexana sebagai pimpinan PT. Asuransi Jiwasraya tidak sejalan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 73/POJK.05/ 2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian. Pada pasal 6 ayat (4) disebutkan bahwa seluruh anggota Direksi Perusahaan Perasuransian harus memiliki pengetahuan sesuai dengan bidang usaha perusahaan yang relevan dengan jabatannya.
Ketiga: Restrukturisasi Polis Konsumen Jiwasraya
Program restrukturisasi polis nasabah Jiwasraya yang dialihkan ke new company, yakni kepada IFG Life, dalam implementasinya menimbulkan kerugian pada 5,3 juta konsumen Jiwasraya. Kebijakan restrukturisasi tersebut tidak menerapkan prinsip asas keadilan dan asas manfaat bagi para pemegang polis. Bahkan, dari perspektif hukum, kebijakan itu dinilai melawan hukum, baik terkait praktek-praktek kotor di dalamnya maupun soal pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan semangat berasuransi.
Hal ini akan menjadi preseden buruk bagi sektor jasa keuangan, khususnya pada industri perasuransian Indonesia. Apabila restrukturisasi polis konsumen Jiwasraya tetap dijalankan oleh manajemen AJS dengan segala akrobatiknnya, kondisi ini dapat dipandang sebagai suatu upaya mematikan bisnis Perseroan Jiwasraya dengan merugikan para konsumen Jiwasraya. Hal tersebut tentunya tidak sejalan dengan upaya Pemeritah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional.
Publik harus tahu bahwa permasalahan mendasar Jiwasraya adalah pada pemilihan kebijakan Restrukturisasi Polis Konsumen yang menjadi penyebab sengkarut yang berkepanjangan ini. Mengapa harus harus ada opsi Restrukturisasi Polis Konsumen Jiwasraya, yang secara jelas itu salah alamat dan melawan hukum? Bagaimana mungkin kerugian perusahaan asuransi yang diakibatkan oleh kesalahan manajemennya dibebankan kepada nasabah? Apakah masuk akal misalnya, sebuah lembaga keuangan seperti bank membebankan biaya penyehatan bank kepada nasabahnya melalui pemotongan (restrukturisasi rekening nasabah) ketika bank tersebut mengalami kerugian?
Kebijakan Restrukturisasi Polis Konsumen, dalam bentuk pemotongan manfaat polis para nasabahnya, tidak boleh diterapkan pada Perseroan Jiwasraya. Kebijakan semacam itu, dan berbagai kebijakan lainnya yang akan berdampak langsung kepada nasabah, tidak semestinya diputuskan secara sepihak tanpa mengajak berdialog para Pemegang Polis Jiwasraya. Sebagai bagian utama dari perusahaan plat merah Jiwasraya, seluruh nasabah seharusnya diajak berdialog terlebih dahulu. Amat tidak dibenarkan pihak perusahaan mengambil kebijakan secara sepihak yang merugikan para nasabah.
Manajemen AJS wajib memahami dan mentaati Undang-Undang Perasuransian Nomor 40 Tahun 2014, terutama pasal (1) tentang perjanjian dua belah pihak. Dalam hal klausa baku yang tidak boleh diubah secara sepihak, yang mewajibkan adanya persetujuan kedua belah pihak, maka kebijakan program Restrukturisasi Polis Konsumen tersebut harus batal demi hukum dan UUD 1945. (*)
Penulis adalah Sekjend FNKJ
Email: fnkjgroup@gmail.com
Twitter: @FNKJGROUP
Oleh: Latin, SE