Bitung – Tuduhan KKN Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kota Bitung dengan sejumlah media dinilai berlebihan dan bermuatan fitnah yang berpotensi melanggar UU Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE).
Hal ini diungkapkan Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke kepada pewarta media ini, Rabu (26/5/21), menanggapi tuduhan adanya praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang diberitakan salah satu media online lokal, kepada Diskominfo Bitung dengan sejumlah media yang telah menjalin kerja sama dengan pihak Diskominfo Bitung, dengan alasan media-media itu tidak memenuhi syarat.
Alasan tidak memenuhi syarat yang dikemukakan media lokal yang dinilai ‘sok berkuasa’ itu menyebutkan bahwa perjanjian kerja sama sejumlah media dengan Diskominfo Bitung tidak memenuhi ketentuan Dewan Pers tentang UKW dan verifikasi media oleh Dewan Pers.
Tulisan yang diduga memojokkan dan menuduh Diskominfo Bitung melakukan KKN dengan sejumlah media, menurut peraih predikat ‘Reporter of the Month April 2007’ oleh Kabar Indonesia ini, adalah sarat kepentingan.
“Aturan yang dibuat oleh Dewan Pers (DP) bukan payung hukum bagi media untuk melakukan kerja sama dengan Pemerintah Daerah. Pemda dilarang menggunakan aturan DP dalam proses kerja sama dengan media-media di seluruh Tanah Air,” tegas Pimpinan Redaksi Koran Online Pewarta Indonesia (KOPI) ini.
Langkah dan kebijakan Diskominfo Kota Bitung, kata Lalengke, yang mengakomodir kerja sama dengan setiap media yang ada di Kota Bitung tanpa adanya diskriminasi, asalkan memenuhi syarat sebagaimana ketentuan perundangan yang ada sudah benar dan tepat. “UKW dan verifikasi media itu adalah produknya DP, yang hanya mengikat secara internal, berlaku bagi konstituen DP, tidak berlaku untuk entitas lain di luar DP.
Tidak ada satu pasal pun atau ayat dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang menyinggung dan/atau menyebutkan bahwa DP berwenang mengatur media dan kerja sama dengan pihak lain.
Seluruh materi dalam UU Pers itu berbicara tentang kemerdekaan dan kebebasan pers. Kalau ada materi lain, hanya tentang cara penyelesaian sengketa pers. Lain dari itu, semisal kerja sama dengan Pemda, tidak diatur sama sekali. DP juga tidak diberi kewenangan membuat aturan turunan UU Pers tersebut,” beber alumni PPRA ke 48 Lemhanas Republik Indonesia tahun 2012 tersebut.
Menurutnya, payung hukum buat media yang akan melakukan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Pemerintah Daerah merujuk pada UU Pers Nomor 40 tahun 1999 dan peraturan perundangan lainnya yang terkait dengan usaha dan perekonomian. Yang terpenting adalah kelengkapan dokumen legalitas setiap media sebagai badan hukum sebagaimana dimaksud oleh UU Pers.
“Apa syarat pendirian sebuah usaha di bidang media, punya akta pendirian badan hukum, antara lain CV, PT, atau Yayasan, Ormas, dan bentuk badan hukum lainnya dan disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Juga perlu memiliki NPWP, rekening koran, komposisi keredaksian dan wartawan yang memenuhi standar kualifikasi sebagai jurnalis,” jelas pria yang akrab disapa Shony ini.
Menurutnya, kebijakan Kominfo Bitung sudah tepat dengan mengababaikan aturan Dewan Pers yang melarang Pemda kerja sama dengan media yang belum terverifikasi dan wartawannya belum melewati proses Uji Kompetensi Wartawan (UKW). “Sudah tepat itu kebijakan Diskominfo Bitung.
Haram hukumnya mengikuti aturan yang dibuat oleh DP karena tidak punya dasar hukum yang jelas,” tegas lulusan pasca sarjana bidang Etika Terapan (Applied Ethics) dari Utrecht University, The Netherlands, dan Linkoping University, Sweden, itu.
Menyinggung tentang tudingan salah satu media lokal bahwa Diskominfo melakukan KKN dengan sejumlah media yang telah mengikat kontrak kerja sama dengan Diskominfo Bitung, menurutnya, wartawan yang menulis pemberitaan tersebut harus membuktikan berapa besar nilai duit yang dikorupsi dan siapa pejabat yang melakukan KKN, semua harus jelas. “Pemberitaan jangan liar seperti itu, hanya berdasarkan pada asumsi semata tanpa didukung fakta, data, bukti yang faktual otentik.
Jika hal ini tidak terpenuhi, maka tulisan oknum wartawan tersebut dapat dikategorikan fitnah serta pencemaran nama baik institusi maupun pejabat yang terkait, dan terancam UU ITE. Kalau mau minta bagian, yaa minta saja, tidak usah menuduh orang KKN karena tidak dapat bagian,” tandas Lalengke. (JON-BERT/Red)