JAKARTA (Kontroversinews.com) – Pemerintah bersama dengan PT PLN (Persero) berencana mempensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara mulai 2025 mendatang. Langkah ini menjadi upaya untuk menuju netral karbon di tahun 2060.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Fraksi PAN Eddy Soeparno mengaku mendukung rencana ini, namun yang menjadi pertanyaan besar adalah setelah PLTU dipensiunkan, apa yang akan dilakukan PLN dengan aset-asetnya yang begitu besar tersebut?
“Pertanyaan besarnya adalah apa yang akan dilakukan PLN dengan aset-aset besar tersebut karena penurunan emisi dan menggantinya dengan alternatif energi baru terbarukan (EBT) akan sisakan masalah aset-aset besar,” paparnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Kamis (03/06/2021).
Untuk itu, menurutnya saat ini PLN sedang melakukan kajian untuk monetisasi aset PLTU batu baranya, sehingga memiliki nilai manfaat.
“PLN sedang lakukan kajian memonetisasi aset PLTU batu baranya, sehingga punya manfaat,” lanjutnya.
Salah satu opsi yang mungkin dilakukan adalah memindahkan PLTU yang ada di Jawa dan Sumatera ke tempat lain. Namun juga harus dipikirkan ke depannya lagi karena pemakaian batu bara akan semakin ditekan.
“Tapi juga harus memikirkan ke depannya karena batu bara sudah dilimitasi dan akan dikurangi sampai nol, sejauh mana PLN bisa dapatkan manfaat dari aset-aset PLTU batu bara karena berkaitan dengan kewajiban finansial,” jelasnya.
Sementara itu, di acara yang sama Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), menyampaikan meski bauran energi primer berubah, tapi jaringan transmisi yang terkoneksi dengan PLTU masih bisa gunakan.
Dengan rencana jadwal mulai menggantikan PLTU ini dimulai 2025, artinya masih ada waktu bagi PLN untuk mempersiapkannya dengan matang.
“Perlu persiapan-persiapan, sehingga bisnis pembangkit batu bara nggak jadi waste,” ungkapnya dilansir dari Cnbc indonesia.
Satya menekankan agar jangan sampai investasi dengan belanja modal besar, tapi pada tahun tertentu sudah harus pensiun, apalagi kalau modalnya belum balik. Maka dari itu, menurutnya peta jalan menjadi penting dan harus hati-hati dalam pelaksanaannya, serta tetap harus mendengarkan masukan dari berbagai pihak.
“Sehingga tahu pasti pendekatan apa yang paling baik, tapi buat negara bisa penuhi komitmen Paris, di sisi lain masih bisa attract investasi energi,” ujarnya.
Seperti diketahui, PLN berencana akan mulai menggantikan PLTU dan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) dengan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) sebesar 1,1 Giga Watt (GW) pada 2025 mendatang.
“Kami bangun time line, yakni 2025-2030 sudah haramkan PLTU baru, bahkan diharapkan di 2025 ada replacement (penggantian) PLTU dan PLTMG dengan pembangkit listrik EBT,” papar Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Kamis (27/05/2021).Setelah itu, pihaknya menargetkan akan mempensiunkan PLTU Subcritical tahap I dengan kapasitas mencapai 1 GW pada 2030.
“Di 2030 retirement (pensiun) subcritical tahap pertama 1 GW,” imbuhnya.
Lalu, dilanjutkan mempensiunkan PLTU Subcritical tahap II dengan kapasitas 9 GW pada 2035. Dan pada 2040 ditargetkan bisa mempensiunkan PLTU Supercritical sebesar 10 GW.
Sementara PLTU Ultra Supercritical tahap I ditargetkan bisa dipensiunkan pada 2045 sebesar 24 GW dan PLTU Ultra Supercritical terakhir sebesar 5 GW bisa dipensiunkan pada 2055.
“Retirement PLTU Ultra Supercritical secara bertahap bisa dilaksanakan dari 2045-2056, dan pada akhirnya bisa mencapai carbon neutral pada 2060,” ujarnya dilansir dari Cnbc Indonesia. ***AS