PAPUA (Kontroversinews.com) – Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (Pembela HAM) Theo Hesegem turut berduka atas meninggalnya warga masyarakat sipil atas konflik yang belakangan terjadi.
Terlebih, petugas medis juga jadi korban meninggal di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua.
“Sampai hari ini ratusan jiwa masyarakat sipil di Papua telah meninggal dunia. Hak mereka untuk bebas hidup di atas Tanah Papua telah diakhiri dengan kematian,” kata Theo Hesegem, pada merdeka.com, Sabtu (18/9).
Perang yang sedang berlangsung di Papua, kata dia, dipicu peristiwa kekerasan terhadap karyawan PT. Istaka Karya 2018 lalu di Kabupaten Nduga. Hingga kini, konflik terus memanas.
“2021 Perang masih terus dilanjutkan dan terjadi di beberapa kabupaten seperti, Kabupaten Nduga, Intan Jaya, Puncak, Timika, Yahukimo, Maybrat dan Pegunungan Bintang,” ujarnya.
Teranyar, kontak senjata kembali terjadi di Kabupaten Pegunungan Bintang. Akibat konflik ini, seorang petugas kesehatan, Gabriella Melaini meninggal dunia.
Hesegem menegaskan, petugas kesehatan, guru, jurnalis yang sedang bekerja sudah seharusnya diberikan akses bebas, bukan menjadi target. Karena profesi tersebut dalam rangka melayani masyarakat di Papua.
“Karena hukum humaniter Internasional juga menjamin sebagai petugas kesehatan, guru dan wartawan harus bebas dari ancaman penghilangan atau ancaman pembunuhan. Karena tugas mereka adalah melakukan pelayanan terhadap publik,” kata dia.
Konstelasi konflik yang terjadi saat ini, kata Hesegem semakin panas. Bahkan, sulit untuk membedakan mana musuh dan mana teman. Sehingga baik antara OPM maupun TNI/Polri tak tahu secara pasti mana yang perlu dilindungi.
Diketahui, OPM kerap menuding guru dan pekerja di Papua sebagai intelijen TNI. Sementara TNI/Polri juga kesulitan membedakan OPM karena berbaur dengan masyarakat sipil.
Celakanya, konflik yang terjadi saat ini sudah bukan lagi di pedalaman hutan dan pegunungan. Tapi sudah memasuki perang terbuka di dalam kota. Sehingga, potensi masyarakat sipil menjadi korban semakin nyata di depan mata.
Hesegem mengungkap, masyarakat sipil saat ini, baik orang asli Papua atau pendatang, hidup penuh dengan rasa takut, dan trauma yang luar biasa. Mereka tidak tenang menjalani aktivitas sehari-hari, karena selalu mengalami rasa takut.
“Masyarakat sipil yang selalu hidup dengan penuh rasa takut dan trauma di daerah konflik tak ada obat yang bisa diberikan kepada mereka untuk menyembukan rasa takut dan trauma yang dimaksud. Apalagi bagi keluarga yang merasa telah kehilangan dengan berujung kematian? Mungkin akan muncul kebencian disertai dengan caci maki terhadap pelaku konflik kekerasan,” kata dia.
Dia pun mendorong, tindakan konkret dari Pemerintah pusat untuk menyudahi kekerasan yang berkepanjangan di Tanah Papua. Hal ini penting, kata dia, karena semua kebijakan ada di pemerintah pusat dalam hal ini Presiden Jokowi.
Dia mengaku sangat sedih melihat pemerintah seolah tidak peduli menyelesaikan konflik kekerasan di Papua. Dia tidak setuju dengan sikap pemerintah pusat yang malah memperbanyak pengiriman pasukan TNI/Polri ke Papua yang dinilainya memperuncing konflik.
“Kebijakan ini sangat keliru, kekerasan tidak pernah akan berakhir apabila terjadi berlawanan antara kedua bela pihak dengan kekuatan yang mengandalkan senjata. Kekerasan akan berakhir kecuali ada kesepakatan kedua belah pihak yang hendak melakukan perdamaian,” seru dia.
Hesegem melihat, konflik di Papua tidak akan pernah berakhir. Sebab, antara TNI/Polri dan OPM saling mempertahankan ideologinya masing-masing. Dampaknya, masyarakat sipil berjatuhan.
Kecuali, ada pertemuan antara elite politik Papua merdekahnm dan elit dari pemerintah Indonesia yang dapat mengatakan kesepakatan perdamaian sesuai dengan standar-standar penyelesaian konflik.