Site icon kontroversinews.com

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Kabulkan Penyidik PNS Bisa Usut Pencucian Uang

ilustrasi (Shutterstock)

JAKARTA (Kontroversinews.com) – Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan seluruh gugatan beberapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang meminta agar penyidik PNS memiliki wewenang mengusut kasus pencucian uang.

Mereka menggugat penjelasan Pasal 74 dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan meminta agar Majelis Hakim MK menyatakan penjelasan tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

“Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” sebagaimana dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman, Selasa (29/6).

Penjelasan Pasal 74 UU Nomor 8 Tahun 2021 yang digugat berbunyi:

Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.

Gugatan terhadap penjelasan itu dilayangkan oleh dua Penyidik PNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Cepi Afriana dan M. Dedy Hardinianto serta dua penyidik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Garribaldi Marandit dan Mubarak.

Menurut mereka, penjelasan pasal 74 UU TPPU itu membatasi bahwa kewenangan penyidikan TPPU hanya dapat dilakukan oleh penyidik dari enam instansi yakni Polri, KPK, BNN, Kejaksaan, serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.

Hal ini bertentangan dengan norma pasal 74 UU TPPU yang mengamanatkan bahwa penyidikan pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik asal yang dilakukan berdasarkan undang-undang.

“Seharusnya penyidik pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berwenang untuk menyidik tindak pidana pencucian uang yang harta kekayaannya berasal dari tindak pidana di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, begitu juga penyidik pada Kementerian Kelautan dan Perikanan,” sebagaimana dikutip dari permohonan yang dipertimbangkan hakim.

Selain itu, mereka juga menilai ada perlakuan yang tidak sama di depan hukum terhadap penyidik dari enam instansi di atas dan penyidik PNS di instansi lain.

Padahal, berdasarkan Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 6 ayat (1) KUHAP, penyidik PNS lain memiliki wewenang khusus melakukan penyidikan dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukum masing-masing PNS tersebut.

Selama ini, pasal 74 UU TPPU itu berikut penjelasannya mengharuskan penyidik PNS di luar enam instansi yang menemukan kasus pencucian uang, melaporkan kasus itu kepada polisi.

“Penyidik tersebut hanya memiliki pilihan untuk menyampaikan temuannya ke penyidik kepolisian,” sebagaimana dikutip dari permohonan Cepi dan rekan-rekannya.

Mereka lantas meminta Majelis Hakim MK agar menyatakan bahwa penjelasan Pasal 74 dalam TPPU sepanjang kalimat “Yang dimaksud dengan penyidik tindak pidana asal” merupakan pejabat pejabat dari enam instansi itu, bertentangan dengan UUD Dasar 1945.

Majelis Hakim MK lantas mengabulkan permohonan ini. Dalam pertimbangannya, mereka menyebut bahwa penjelasan tidak boleh bertentangan, mempersempit, memperluas, atau menambah pengertian norma yang termuat dalam pasal yang ditafsirkan.

Majelis Hakim juga menyatakan bahwa frasa “penyidik pidana asal” dalam Pasal 74 UU TPPU tidak terbatas pada enam instansi itu, melainkan pejabat dari instansi yang diberi kewenangan oleh undang-undang.

“Telah secara jelas dan tegas (expressis verbis), tidak ada pengecualian siapapun pejabat yang melakukan penyidikan tindak pidana karena perintah undang-undang yang kemudian melahirkan tindak pidana pencucian uang adalah penyidik tindak pidana asal,” tulis Majelis Hakim yang diketuai Anwar Usman.

Majelis Hakim MK juga mengadili bahwa penjelasan yang menyebutkan pejabat yang berwenang melakukan penyidikan berasal dari enam instansi itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

“Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai,” kata Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman dalam amar putusannya***AS

Sumber: Cnn Indonesia

Exit mobile version