JAKARTA Kontroversinews.com – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rampung memeriksa tiga bos perusahaan swasta, pada Kamis, 14 April 2022, kemarin. Ketiga bos perusahaan swasta itu yakni, Direktur Utama PT Cetra Blok, Ekom Wahyu Saputra; Direktur Utama PT Artha Mulia Wahana Bahari, Otong Kusaeri; serta Direktur CV Sandaan Endah Karya, Adang Hadari.
Ketiga bos perusahaan swasta tersebut diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat mantan Wali Kota Banjar dua periode, Herman Sutrisno (HS). Penyidik lembaga antirasuah mendalami keterangan ketiganya soal lelang proyek hingga aliran uang untuk Herman Sutrisno.
Sementara itu, terdapat tiga saksi yang mangkir alias tidak memenuhi panggilan pemeriksaan KPK pada Kamis kemarin. Ketiga saksi itu yakni, Direktur PT Nugraha Mulya, Adji Suwardji Ardaya; Direktur Utama PT Damar Buana Pangandaran, Nono; serta Direktur Utama CV Nanggela, Erwin.
“Ketiga saksi tidak hadir dan segera dilakukan penjadwalan ulang kembali,” pungkas Ali.
Untuk diketahui, Herman Sutrisno telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Herman ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait sejumlah proyek infrastruktur di Kota Banjar.
Anggota DPRD nonaktif Provinsi Jawa Barat (Jabar) tersebut ditetapkan sebagai tersangka bersama-sama dengan Direktur CV Prima, Rahmat Wardi (RW). Keduanya ditetapkan sebagai tersangka setelah ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup.
Suap-menyuap tersebut bermula dari kedekatan Herman dan Rahmat. Herman memberikan kemudahan untuk Rahmat mendapatkan izin usaha, jaminan lelang, dan rekomendasi pinjaman bank dalam rangka mendapatkan beberapa paket proyek pekerjaaan di Banjar.
Rahmat mendapat 15 paket proyek pekerjaan di Dinas PUPRPKP (Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman) Kota Banjar pada 2012 sampai 2014 dengan total nilai proyek sebesar Rp23,7 miliar. Karena telah diberi kemudahan, Rahmat memberikan fee kepada Herman sekira 5% sampai 8% dari nilai proyek.
Herman diduga juga pernah memerintahkan Rahmat untuk meminjam uang ke salah satu bank di Kota Banjar dengan nilai yang disetujui sekira Rp4,3 miliar. Uang itu kemudian digunakan untuk keperluan pribadi Herman dan keluarganya. Sedangkan untuk cicilan pelunasannya, tetap menjadi kewajiban Rahmat.
Rahmat juga diduga beberapa kali memberikan fasilitas pada Herman dan keluarganya. Diantaranya, berupa tanah dan bangunan untuk pendirian SPPBE (Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk Elpiji) di Kota Banjar. Rahmat juga diduga pernah memberikan uang untuk biaya operasional rumah sakit milik Herman.
Selama masa kepemimpinan Herman sebagai Wali Kota Banjar periode pertama, diduga dia banyak menerima pemberian sejumlah uang dalam bentuk gratifikasi dari para kontraktor dan pihak lainnya yang mengerjakan proyek di Pemerintahan Kota Banjar.
Atas perbuatannya, Rahmat disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf (a) atau (b) atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sedangkan Herman, disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau (b) atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.