Site icon kontroversinews.com

Waspada Bencana Demografi, Banyak Anak Muda ‘Nganggur’

(ist)

JAKARTA (Kontroversinews.com) – Tingkat pengangguran penduduk usia muda Indonesia ternyata tertinggi di Asia Tenggara. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) penduduk usia 15-24 tahun merupakan kelompok pengangguran tertinggi, mencapai 20,46 persen per Agustus 2020.

Angka itu naik 1,77 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Sementara itu, angka pengangguran di Indonesia mencapai 9,77 juta orang, bertambah dari sebelumnya 7,10 juta orang. Sedangkan, TPT sebesar 7,07 persen, naik dari sebelumnya 5,23 persen.

Sebagai perbandingan, tingkat pengangguran negara tetangga seperti Filipina, Thailand, Vietnam, Singapura, dan Malaysia masih berada di bawah 15 persen. Kondisi tersebut tentunya harus menjadi perhatian pemerintah.

Pasalnya, Indonesia mengalami bonus demografi pada periode 2020 – 2030. Artinya, jumlah penduduk berusia produktif yakni 15-64 tahun mencapai 70 persen dari total penduduk pada periode tersebut.

Mengutip dari Cnn Indonesia, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menuturkan bonus demografi bisa berubah menjadi bencana demografi, apabila RI tidak bisa memanfaatkan sumber daya manusia usia produktif. Kondisi ini tercermin dari tingginya pengangguran usia muda tersebut.

“Kalau tidak bisa kemudian manfaatkan bonus demografi dan tidak bisa manfaatkan SDM usia produktif, yang ada justru nanti akan menjadi bencana demografi,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (4/5).

Bencana demografi yang dimaksud Bhima adalah Indonesia berpotensi masuk jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) setelah periode bonus demografi selesai.

Pasalnya, tidak ada persiapan angkatan kerja yang memadai guna menanggung dan mengompensasi penduduk usia tidak produktif selama periode bonus demografi.

Terlebih, Indonesia sudah terancam turun kelas menjadi negara lower middle income akibat pandemi covid-19. Padahal, Indonesia sudah berhasil naik kelas menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income country) tahun lalu. Hal ini mencerminkan ancaman middle income trap semakin nyata.

“Kondisi ini nanti akan berpengaruh juga pada kualitas standar hidup secara umum,” jelasnya.

Ironisnya lagi, lanjut Bhima, tingkat TPT usia muda Indonesia hampir setara dengan sejumlah negara gagal (failed state) akibat konflik, yang mengganggu stabilitas politik dan keamanan negara tersebut.

Sebagai perbandingan, data Bank Dunia menyebutkan TPT angkatan muda di Irak, negara yang penuh konflik mencapai 25,2 persen. Lalu, Yaman 24,2 persen, Suriah 20,8 persen, dan Somalia 19,8 persen. Sekilas saja tampak TPT angkatan muda RI tidak jauh berbeda dengan negara tersebut, yaitu 20,46 persen.

“Negara seperti Irak, Suriah, Yaman salah satu indikator kegagalannya adalah angka pengangguran usia muda tinggi. Jadi, kalau kita bandingkan dengan negara gagal, itu menjadi ancaman yang nyata,” terangnya.

Ia mengingatkan pengangguran usia muda rentan dengan provokasi isu SARA serta risiko tingkat kriminalitas tinggi. Hal tersebut menjadi ancaman stabilitas keamanan nasional.

Oleh karenanya, ia menilai isu tingginya TPT usia muda ini tidak bisa dianggap remeh lantaran dampaknya sangat massif pada perekonomian maupun stabilitas keamanan nasional.

“Bayangkan menganggur (pada) usia muda produktif, apa yang mau dilakukan? Jadi, gampang tersulut hoaks dan provokasi. Jangankan jebakan kelas menengah, lebih dari itu kita berisiko menjadi negara gagal,” terangnya.

Solusinya, kata Bhima, tidak lain adalah penciptaan lapangan kerja khususnya pada sektor yang memiliki tingkat serapan tenaga kerja tinggi, yakni pertanian dan pengolahan. Selain itu, pemerintah perlu mendorong link and match antara perguruan tinggi dengan kebutuhan industri.

Mengutip data BPS, tingkat pengangguran terbuka tertinggi justru berasal dari lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yakni 13,56 persen dan SMA 9,86 persen. Sedangkan, TPT lulusan diploma III 8,08 persen dan universitas 7,35 persen.

“Selanjutnya, ada link and macht antara skill di jenjang pendidikan menengah dan perguruan tinggi dengan kebutuhan industri, karena masalahnya adalah kenapa penyumbang pengangguran paling besar datang dari SMK dan perguruan tinggi,” terangnya.

Selain itu, perlu digenjot kembali penciptaan wirausahawan, lantaran rasionya masih kecil yakni hanya 3,1 persen dari total penduduk. Rasio ini merupakan yang terkecil di Asia Tenggara. Lalu, Bhima menilai pemerintah perlu melakukan reformasi pendidikan sehingga lulusan tidak hanya berbekal ilmu, namun juga jiwa kemandirian.

Exit mobile version