BANDUNG (kontroversinews.com) – Sebanyak 19 siswa harus mengalami penahanan ijazah lantaran tunggakan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) yang tak dapat dilunasi. Para siswa tersebut berasal dari SMA dan SMK negeri dan swasta di Kota Bandung.
Salah satu orang tua siswa di SMA Al-Islam Bandung, Dedi mengatakan, anaknya tak mendapatkan ijazah asli setelah lulus pada Mei 2020. Bukan tanpa alasan, faktor ekonomi menjadi salah satu hambatan anaknya mendapatkan ijazah sebagai tanda kelulusan sekolah.
“Oh betul ijazahnya masih ditahan, belum ditebus berhubung faktor ekonomi,” ujar Dedi yang telah dikutip dari Detikcom, Sabtu (24/4/2021).
Selama ini Dedi cenderung melakukan berbagai jenis pekerjaan untuk memenuhi tunggakan biaya tersebut. “Saya kerja serabutan. Kalau ada, ya kerja bangunan. Kadang-kadang ngojek, tapi sekarang ngojegnya sepi,” tuturnya.
Akhirnya, dia pun berinisiatif untuk mendapatkan pendampingan dan mengajukan aduan kepada Dinas Pendidikan Jawa Barat dengan harapan ijazah anaknya dapat digunakan untuk melamar pekerjaan. “(Membuat aduan) Kurang lebih tiga bulan (yang lalu). Harapannya bisa ke ambil aja bu dari pihak sekolah di karena kan penting untuk melambar pekerjaan kalau ga ada ijazah susah bu untuk melambar kerja,” kata Dedi menambahkan.
Sementara itu, PSI selaku tim pendampingan para orang tua siswa mengaku telah mendapatkan laporan mengenai penahanan ijazah ini hingga ratusan selama dua bulan terakhir. Tercatat 62 di antaranya secara tertulis dan 19 siswa sudah tervalidasi untuk dilanjutkan tindakan kepada dinas dan sekolah terkait.
“Di antara kasus-kasus yang diadukan variasi, penyebabnya juga beragam walaupun benang merahnya sama, tunggakan biaya. Tapi variasi besarannya berbeda-beda, ada yang Rp 350 ribu, ada yang jutaan sampe R p6 juta. Ada yang uang pembangunan dan macam-macam, itu sebatas yang kami terima,” kata Ketua DPW PSI Jabar Furqon Amini.
Siswa lulusan pun tak hanya dari tahun 2020 saja, beberapa di antaranya, kata Furqon, ada yang lulusan 2019 atau dua sampai tiga tahun yang lalu. Imbas dari penahanan ijazah ini senada dengan pernyataan orang tua.
Siswa tersebut dikatakannya, tidak dapat melamar pekerjaan, mengikuti pelatihan kerja, hingga melanjutkan pendidikan melalui beasiswa. Selain itu, menimbulkan demoralisasi semangat dan percaya diri siswa yang bersangkutan.
Dasar mengenai pendidikan termaktub dalam Pasal 31 UUD 1945 ayat satu menegaskan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Lebih lanjut, pada pasal dua menjelaskan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Selanjutnya pasal empat juga dijelaskan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Dinas Pendidikan Jawa Barat Wahyu Mijaya menyayangkan kasus seperti ini masih terjadi, terutama di sekolah negeri. Pihaknya pun memastikan penahanan ijazah di sekolah negeri tidak terulang kembali.
“Di sekolah negeri kami pastikan tidak ada penahanan ijazah. Untuk sekolah swasta kami akan komunikasikan kaitan dengan yang terjadi di lapangan. Sebetulnya masalah komunikasi, misalnya orang tua segan untuk ke sekolah karena khawatir tadi adanya beban yang belum terselesaikan. Kemudian meminta kepada yang lain untuk mendapatkan ijazahnya, sedangkan sekolah mengharuskan ijazah diambil oleh yang bersangkutan,” tutur Wahyu.
Pihaknya akan memediasi antara sekolah negeri atau yayasan sekolah swasta dengan orang tua. “Pada prinsipnya kan caranya tidak dengan penahanan ijazah. Tapi kan kami juga harus melihat dari kedua belah pihak,” ujarnya.
Sementara ini data mengenai siswa yang mendapatkan penahanan ijazah sudah dipegang Disdik Jabar untuk ditindaklanjuti. “Ini kan laporan dari satu pihak orang tua, kami juga harus konfirmasi kepada pihak sekolahnya. Nah makanya kemarin kami minta datanya supaya bisa ditindaklanjuti,” ujar Wahyu.