Site icon kontroversinews.com

Seburuk Apa Minuman Bersoda untuk Kesehatan Otak?

Ilustrasi minuman bersoda. (Foto: shutterstock)

Kontroversinews.com – Minuman bersoda menjadi kegemaran banyak orang. Di sisi lain, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa minuman soda buruk untuk kesehatan jika dikonsumsi terlalu sering.

Minuman soda tidak memiliki nilai gizi apa pun, dapat merusak gigi, membuat makin haus, dan telah dikaitkan dengan obesitas, gula darah tinggi, osteoporosis, dan berbagai masalah kesehatan lainnya.

Tak cuma itu, minuman soda juga bisa mengancam kesehatan otak. Penelitian yang diterbitkan dalam Alzheimer‘s & Dementia menunjukkan bahwa fruktosa dalam minuman manis dapat merusak otak.

Dilansir dari The Healthy, sebuah tim dari Universitas Boston, menggunakan data dari Framingham Heart Study (FHS), menemukan bahwa orang yang secara teratur minum minuman manis cenderung memiliki memori yang lebih buruk.

Selain itu, volume otak keseluruhan yang lebih kecil, dan hippocampus yang jauh lebih kecil (Ini adalah bagian dari otak yang penting untuk belajar dan daya ingat).

Studi melibatkan pemeriksaan data, termasuk pemindaian magnetic resonance imaging (MRI) dan hasil pengujian kognitif, dari sekitar 4.000 orang yang terdaftar dalam kelompok Keturunan dan Generasi Ketiga Framingham Heart Study.

Sebuah kelompok “asupan tinggi” terdiri dari orang yang mengonsumsi lebih dari dua minuman manis sehari dari jenis apa pun, termasuk jus buah dan minuman ringan lainnya, atau lebih dari tiga soda per minggu.

Dalam kelompok itu, para peneliti mengidentifikasi beberapa tanda penuaan otak yang dipercepat, termasuk volume otak keseluruhan yang lebih kecil, memori episodik yang lebih buruk, dan hippocampus yang menyusut, semua faktor risiko penyakit Alzheimer tahap awal.

Penting untuk dicatat bahwa temuan kedua studi menunjukkan korelasi tetapi bukan sebab-akibat. “Studi ini bukanlah segalanya dan akhir dari segalanya, tetapi ini adalah data yang kuat dan saran yang sangat kuat,” kata profesor neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Boston, Sudha Seshadri, MD, seperti dikutip dari Science Daily.***AS

Exit mobile version