Site icon kontroversinews.com

Memahami Konsep Wisata Halal

Ilustrasi wisata halal | Google.com

KONTROVERSINEWS.COM– Secara praktis wisata halal itu sama dengan wisat lainnya. Namun ada layanan tambahan bagi wisatawan muslim. Contohnya, wisatawan perlu mengonsumsi makanan yang halal, kemudian jika mereka ingin salat, ada tempatnya. Intinya, semua diatur dan tidak mengubah destinasi wisatanya.

Dalam pandangan Ryanto, pasar industri halal di Indonesia sangat besar. Pada 2020 pertumbuhan ekonomi umat muslim dari kelas menengah meningkat, industri halal kemudian berkembang ke sektor gaya hidup, termasuk pariwisata, kosmetik, fesyen, rekreasi.

“Itu karena adanya kebutuhan umat muslim yang makin mapan dan berkembang ekonominya, jadi bukan hanya makanannya yang halal, tapi juga gaya hidupnya. Sekarang kalau kita datang ke mall saja, musalanya sudah mewah, bukan di tempat parkir. Itu terjadi karena adanya tuntutan pasar,” ujar  Ketua Perkumpulan Pariwisata Halal Indonesia (PPHI) Ryanto Sofyan.

Ryanto mengatakan pemilik mal biasanya nonmuslim, tapi mengapa musalanya cukup besar. Ia mencontohkn di Kokas, musala yang ada di sana besarnya seperti sebuah masjid. Begitu juga dengan musala di Plaza Indonesia dan Grand Indonesia yang mewah.

Saat ini restoran juga yang sudah banyak memiliki sertifikat halal. Itu untuk menjawab pertanyaan dari pengunjung muslim yang bertanya apakah makanan itu halal atau tidak.

“Sertifikat halal juga termasuk dalam dunia fesyen. Itu karena adanya pasar atau kebutuhan, tapi pasar itu bukan hanya untuk muslim saja. Kosmetik, pakaian, restoran, bukan untuk muslim saja, begitu juga dengan pariwisata. Namun, bila mereka berkunjung ke sana tentu perlu adanya tempat salat, makanan yang terjamin kehalalannya,” papar Ryanto.

Jika negara-negara yang mayoritas nonmuslim saja mengembangkan pasar wisata halal, mengapa sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia tidak. Indonesia itu bahkan saat ini jadi consumer terbesar, bukan produsen terbesar dan itu perlu dikapitalisasi.

Secara fakta, kata Ryanto, jumlah turis muslim dunia itu lebih besar jumlahnya dari turis China. Turis China hanya antara 130–140 juta, sedangkan turis muslim itu mencapai 160 juta.

“Sementara dari segi pengeluaran uangnya sekitar 1100 dolar AS per turis per kunjungan. Sedangkan wisatawan muslim paling rendah itu 1350 dolar per turis per kunjungan, bahkan ada yang sampai 2.000 sampai 2.500 dolar. Mengapa itu terjadi? Karena mereka itu traveling bersama keluarga dan jangka kunjungannya pun lama hingga bisa sembilan hari,” urai Ryanto.

Ryanto menyebutkan wisatawan dari China, Eropa, dari India, tentu mereka punya kebutuhan masing-masing. Wisatawan dari India, misalnya, butuh makanan yang vegetarian, karena mereka tidak makan daging, wisawatan Eropa misalnya butuh minuman keras.

“Wisatawan muslim juga sebenarnya seperti itu, tapi tujuan wisatanya tetap sama. Sejak 2012, Perkumpulan Pariwisata Halal Indonesia itu sudah mendukung Kemenpar untuk mengembangkan pasar ini. Saat ini perkembangannya sudah cukup baik, karena Indonesia berada pada posisi nomor satu, sedangkan Malaysia yang terbaik saat ini,” kata Ryanto.

masalahnya saat bicara wisata halal tersebut dianggap eksklusif dan seperti dianggap islamisasi atau arabisasi. Padahal, wisata halal bukan itu, wisatawan muslim juga bukan datang dari Arab, tapi di Eropa juga ada.

Ryanto mencontohkan, di Jerman umat muslim juga besar. Jumlah muslim di Eropa itu sekitar 70 juta. Pendapatan mereka dari yang 70 juta itu rata-rata sekitar 70 ribu Euro per tahun atau sekitar lima hingga enam ribu Euro per bulan atau sekitar Rp70 jutaan.

“Mereka juga muslim yang taat, tapi mereka tetap surfing, tetap salat. Intinya di situ. Jadi, wisata halal itu bukan untuk merusak kebhinnekaan atau ancaman bagi destinasi mayoritas nonmuslim. Itu tidak ada kaitannya. Wisata halal itu hanya pelayanan dan fasilitas tambahan bagi wisatawan muslim di tempat atraksi wisata atau destinasi wisata. Poinnya itu saja,” lanjut Ryanto.

Jadi, kata Ryanto, wisata halal itu bersifat muslim friendly atau ramah muslim sehingga segala kebutuhannya pun dipenuhi, baik itu di hotel, destinasi. Semua itu tidak mengubah atraksinya, mereka hanya menyiapkan tempat salat, tempat wudhu, toilet kalau bisa yang ada airnya.

“Jadi, gitu-gitu doang. Wisata halal itu bukan menjadi ancaman, tapi justru memperluas jangkauan pasar daripada atraksi wisata itu, maupun hotel, restoran, atau segala macam yang terkait pariwisata sehingga mereka bisa mendapat tambahan pasar,” tegas Ryanto.

Senada dengan Ryanto Sofyan, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Pariwisata Indonesi (GPI) Didin Djunaedy mengatakan wisata halal, bukan berarti semua harus halal. Tapi wisata halal itu sebagai alternatif yang tumbuh dari para pengusahanya.

“Tujuannya adalah untuk mendapatkan potensi yang besar itu mendapatkan penambahan omset dari pertumbuhan wisata halal itu. Saya setuju wisata halal itu pilihan dari pengusahanya, bukan dari pemerintah yang menghalalkan semua. Seperti Bali, mereka sah-sah saja menyediakan makanan halal atau di hotel tidak menjual minuman keras. Jadi, keputusannya dari pengusaha dan bersifat tidak memaksakan,” kata Didin, kepada Liputan6.com, Jumat sore, 29 Oktober 2021.

Bagi Didin, wisata halal harus dikembangkan di Indonesia yang potensinya sangat besar. Karena negara-negara lain pun mengembangkan itu, seperti Korea, Jepang, dengan menyebutnya sebagai muslim friendly atau ramah muslim.

“Mereka menyadari itu karena di luar ada market cukup besar di mana mereka membutuhkan layanan halal ini. Itu terjadi tak hanya di Indonesia, tapi juga di luar negeri,” kata Didin.

 

Sumber:Liputan6

Exit mobile version