Samosir | Kontroversinews.-Sesuai dengan informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber bahwa saat sekarang ini air Danau Toba sudah tercemar berat akibat adanya pembuangan air limbah dan pengotoran yang terjadi selama puluhan tahun,kontroversinews jumaat 25/5/19.
Bahkan para pemerhati lingkungan mengatakan bahwa, air di Danau Toba, Sumatera Utara, tercemar akibat keberadaan keramba jaring apung. Pencemarannya sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan, yakni 80 persen, meski di lokasi-lokasi tertentu.
Sebagaimana dilansir dari Viva.co.id, Direktur Utama BPODT, Arie Prasetyo, mengatakan: “kondisi itu harus segera diperbaiki, para ahli menyarankan agar kepadatan keramba dikurangi untuk menurunkan tingkat pencemaran. Area yang paling tinggi pencemarannya dan paling direkomendasikan segera ditanggulangi adalah kawasan Haranggaol, Horisan, kabupaten Simalungun.”
Dikatakannya, BPODT bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah membahas soal kondisi air Danau Toba yang tercemar akibat keramba jaring apung di Universitas DEL, Laguboti, kabupaten Toba Samosir.
“Ketika rapat di DEL, berdasarkan data dari LIPI dijelaskan area yang benar-benar tercemar, salah satunya adalah di Haranggaol. Tidak dihitung dari tingkat pencemarannya tapi dihitung dari jumlah keramba per skueriter,” katanya kepada wartawan di Medan, Selasa, 26/3/ 19.
Menurut Arie, memang tidak seluruhnya kawasan tercemr, masih ada juga area yang airnya masih relatif aman atau baik. Namun demikian pihaknya (BPODT) pasti akan menertibkan keramba jaring apung itu dan sekarang sudah mulai sosialisasi dampak buruk keberadaan keramba. Tidak hanya bagi air Danau Toba, tetapi juga kehidupan masyarakat setempat.
Bagi, Arie Prasetyo, pengurangan jumlah keramba diperlukan untuk mengurangi pencemaran Danau Toba, tetapi perlu langkah lebih lanjut kepada masyarakat yang terkena dampak pengurangan keramba tersebut. Maka saat ini perlu disiapkan mitigasi terhadap masyarakat yang dahulu petani agar tidak kehilangan mata pencariannya.
“Tentu akan dikontrol atau dikurangi secara signifikan. Untuk sekarang ini yang perlu disiapkan bukan sekedar menguranginya tapi pemerintah hadir untuk menyiapkan mitigasinya terhadap masyarakat yang dahulu petani dan kelak menjadi apa” ucapnya.
Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) baru-baru ini merilis hasil penelitian soal ekosistem Danau Toba untuk perbaikan kualitas air. Kajian ini menyebutkan, perlu mengurangi jumlah keramba jaring apung untuk memperbaiki kualitas air di sana.
Hal tersebut mereka lakukan mengingat pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menetapkan Danau Toba menjadi salah satu destinasi ekowisata andalan Indonesia. Dan karenanya jualah LIPI lakukan penelitian soal kualitas air di danau ini. Setidaknya ada dua permasalahan Danau Toba yang jadi bahasan yakni pengendalian keramba jaring apung (KJA) yang menyebabkan kualitas air makin rusak dan pengendalian transportasi demi keamanan perairan.
Dikabarkan, sejak 2009, LIPI melakukan kajian dengan mengintegrasikan hidrodinamika (pergerakan air) dengan seluruh komponen penyusun ekosistem Danau Toba, baik fisik, biologi, kimia, hingga meteorologinya. Hidrodinamika ini jadi penting, sebagai syarat utama pemahaman sistem di danau, mempelajari pola arus dan pola pergerakan material. Ia juga modal awal menentukan zonasi pemanfaatan ruang di badan air danau.
Menurut LIPI, saat ini kapasitas keramba jaring apung sudah dianggap berlebihan, dan merekomendasikan batasan jumlah produksi ikan per tahun harus memperhitungkan daya dukung lingkungan.
Hadiid Agita Rustini, peneliti Hidrodinamika dan kualitas air Puslit Limnologi LIPI mengatakan, keseluruhan KJA tak boleh lebih dari 543 dengan maksimal produksi 1.430 ton untuk mendapatkan kualitas air pada kondisi oligotrofik.
(air tidak tercemar).
Bicara soal kapasitas produksi, sesuai rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada pada Gubernur Sumatera Utara maka keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/213/KPTS/2017 menetapkan maksimum kapasitas produksi KJA sebesar 10.000 ton per tahun.
Sementara menurut Agita, saat ini produksi ikan budidaya di Danau Toba telah enam kali lipat dari rekomendasi yakni, 65.000 ton per tahun. Kotoran atau feses ikan membuat kondisi perairan danau ini buruk. Berdasarkan data citra satelit Spot VII pada 2016, terdapat sekitar 11.282 KJA di Danau Toba.
Di Harsnggaol, akibat banyaknya KJA dengan kepadatan tinggi sekitar 1.000 KJA per 300×300 meter, air sudah tidak dapat dikonsumsi. Kemudian di Parapat, Silalahi, dengan kepadatan KJA tinggi dan status kualitas air hipertrofik (paling rusak). Pencemaran ini, berada kedalaman sampai 20 meter, ( pada 20-30 meter, kondisi air oligotrofik/baik)
Menurut Agita Rustini, meski belum memiliki kajian, namun jika rekomendasi dilakukan, penghapusan dari 11.282 ke 543, tidak memerlukan waktu lama bisa memulihkan kualitas air di Danau Toba. Kala, penyebab pencemaran– feses ikan– ini berkurang, danau dapat memproses air jadi anorganik.
Sementara Fauzan Ali, Kepala Pusat Penelitian Limnologi LIPI, mengatakan bahwa Danau Toba memiliki waktu 78 tahun untuk mengembalikan ekosistem seperti semula. “Ekosistem memiliki kemampuan membersihkan diri sendiri, jika berada dalam daya dukung yang baik. Sebenarnya, tak perlu menunggu 78 tahun jika mau mendorong pariwisata dengan nol KJA, karena pada dasarnya danau bukan tempat keramba tetapi untuk dinikmati keindahannya, manfaat air, bukan dikotori, tapi dirawat.” pungkas Fauzan.
Sesungguhnya, sejak lama pemerintah Sumatera Utara (Sumut) telah diminta serius mengatasi pencemaran di Danau Toba. Apalagi bila dikaitkan dengan hasil penelitian Bank Dunia yang menyebutkan pencemaran di danau vulkanik tektonik itu cukup parah. Salah satunya karena kehadiran Keramba Jaring Apung (KJA) yang sudah melewati daya tampung.
Kabar yang dilansir dari Gatra.coml, Selasa 20/11/18 menyebutkan, bahwa Ketua Perhimpunan Jendela Toba, Mangaliat Simarmata, meminta agar Gubernur Sumut mengambil kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan lingkungan daripada wisata.
Diketahui bahwa satu hari sebelumnya, Senin 19/11. Bank Dunia melaporkan hasil penelitian mereka tentang kondisi Danau Toba kepada Menko Maritim, Luhut Pandjaitan. Dalam laporan itu disebutkan, kondisi air Danau Toba sudah sangat kotor. Selain limbah KJA, pencemaran itu juga berasal dari limbah peternakan babi, aktivitas rumah tangga, industri dan perhotelan. Selain itu, masalah penebangan hutan di daerah resapan danau juga ikut memicu pencemaran, serta dampak abrasi akibat hutan penyanggah yang gundul.
“Saya sepakat, dengan Menko Maritim, Luhut Pandjaitan. Danau Toba harus zero kerambah. Hasil penelitian Bank Dunia menyebutkan pencemaran Danau Toba cukup parah. Oksigen di danau hanya sampai di kedalaman 50 meter, di bawahnya tidak ada,” kata Mangaliat Simarmata dengan tegas.
Mangaliat menambahkan, Danau Toba harus bebas dari kerambah. Apalagi sudah ada kebijakan Gubernur Sumut sebelumnya, Ery Nuradi, yang mulai 2019 menargetkan, pengurangan produksi Kerambah Jaring Apung (KJA) secara bertahap. Setidaknya sampai 2023 produksi KJA hanya 10.000 ton /tahun dari sebelumnya 50.000 ton/ tahun. “Sekarang apakah Gubernur Edy Rahmayadi mau melaksanakan kebijakan itu,” pungkas Mangaliat. (Diedit dari berbagai sumber.(ps)