Kuningan, Kontroversinews | “Koruptor jangan berlindung di balik Tuntutan Ganti Rugi (TGR).” Kalimat itu tampaknya paling tepat untuk menggambarkan para perampas uang negara yang kerap lolos dari jeratan hukum.
Setiap tahun, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melakukan pemeriksaan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Hasil pemeriksaan itu kemudian dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), yang memuat berbagai temuan dan kejanggalan terkait penggunaan anggaran di lingkungan pemerintah daerah.
Dalam LHP tersebut, BPK biasanya mencatat adanya dugaan pelanggaran regulasi atau tindakan yang berpotensi merugikan keuangan negara. Atas dasar temuan itu, BPK memberikan rekomendasi agar pihak terkait segera mengembalikan kerugian negara melalui mekanisme TGR (Tuntutan Ganti Rugi).
TGR sendiri dikenakan atas kerugian negara yang timbul akibat perbuatan melawan hukum, kelalaian, atau penyalahgunaan wewenang oleh aparatur pemerintah. Biasanya, proses penyelesaian TGR diberi tenggat waktu 60 hari oleh inspektorat daerah. Jika dalam 60 hari tidak diselesaikan, kasus tersebut dapat dilimpahkan ke Aparat Penegak Hukum (APH) untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Namun faktanya, TGR sering kali tidak memberikan efek jera. Bahkan, disinyalir mekanisme ini kerap dijadikan tameng bagi pelaku korupsi untuk lolos dari jeratan hukum — seolah cukup mengembalikan uang negara, semua dosa terhapus.
Bandingkan dengan nasib penjahat kecil: pencuri ayam, sandal jepit, atau barang sepele lainnya. Jika tertangkap, mereka diarak, dipermalukan, bahkan dihajar massa. Keluarga mereka pun ikut menanggung aib sosial, dan sang pelaku akhirnya meringkuk di balik jeruji besi.
Bayangkan jika sistem TGR diberlakukan sama terhadap koruptor — tentu penjara akan penuh oleh “pencuri berdasi”. Namun yang terjadi, cukup dengan mengembalikan kerugian negara, kasus dianggap selesai tanpa sanksi tambahan.
Padahal, BPK RI hanya melakukan pemeriksaan secara uji petik terhadap sebagian kecil dari total anggaran. Jika seluruhnya diaudit, bisa jadi akan muncul lebih banyak temuan yang mengejutkan.
Intinya, para koruptor lebih takut pada hukum manusia daripada hukum Tuhan. Adanya TGR seharusnya tidak menjadi celah bagi pelaku untuk menghindari pidana. Sebab, TGR itu sendiri lahir akibat ketidakpatuhan terhadap aturan dan regulasi yang berlaku.
Jika dalam prosesnya terdapat indikasi tindak pidana korupsi, maka penyelesaiannya harus dilanjutkan ke ranah hukum, bukan berhenti di pengembalian uang semata.
LHP BPK RI bahkan dapat dijadikan alat bukti awal untuk menindaklanjuti dugaan tindak pidana korupsi. ***








