Korupsi BLBI, KPK Umumkan Penetapan Tersangka Sjamsul Nursalim dan Istri

oleh
oleh

Jakarta | Kontroversinews.- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan penetapan tersangka pemegang saham pengendali BDNI Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI), Senin (10/6/2019).

Penetapan tersangka pasangan suami istri ini merupakan pengembangan perkara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung yang telah dijatuhi hukuman 15 tahun pidana penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan oleh Pengadilan Tinggi DKI dalam putusan banding.

“Setelah melakukan proses penyelidikan dan ditemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur di Pasal 44 UU nomor 20 tahun 2002 tentang KPK, maka KPK membuka penyidikan baru dugaan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Kepala BPPN dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada BPPN dengan tersangka SJN (Sjamsul Nursalim) dan ITN (Itjih Nursalim),” kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Senin (10/6/2019).

Dalam pertimbangan putusan terhadap Syafruddin, Majelis Hakim menyatakan adanya kerugian keuangan negara Rp 4,58 triliun terkait perkara korupsi penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul sesuai dengan laporan hasil pemeriksaan investigatif BPK. Kerugian keuangan negara itu merupakan selisih antara kewajiban yang belum diselesaikan Sjamsul sebesar Rp 4,8 triliun dengan hasil penjualan piutang oleh PT PPA tahun 2007 sebesar Rp 220 miliar.

Dalam putusan Syafruddin, Majelis Hakim menyatakan secara tegas pihak yang diuntungkan atau diperkaya dalam korupsi ini adalah Sjamsul Nursalim. Untuk itu, dalam proses penanganan kasus ini, KPK memastikan bakal berupaya memaksimalkan pemulihan kerugian keuangan negara.

“Dikarenakan tersangka SJN diduga sebagai pihak yang diperkaya Rp 4,58 triliun dalam kasus korupsi ini, maka KPK akan memaksimalkan upaya asset recovery agar uang yang dikorupsi dapat kembali kepada masyarakat melalui mekanisme keuangan negara,” katanya.

Dalam kesempatan ini, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menjelaskan, kasus ini bermula saat BPPN dan Sjamsul menandatangani penyelesaian pengambilalihan pengelolaan BDNI melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) pada 21 September 1998.

Dalam MSAA tersebut disepakati bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan kewajibannya baik secara tunai ataupun berupa penyerahan aset.

Secara total, kewajiban Sjamsul selaku pemegang saham pengendali BDNI adalah Rp 47,258 triliun. Kewajiban tersebut dikurangi dengan aset sejumlah Rp 18,85 triliun, termasuk di antaranya pinjaman kepada petani petambak sebesar Rp 4,8 triliun.

“Aset senilai Rp 4,8 triliun ini dipresentasikan SJN seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah. Namun, setelah dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi,” kata Syarif.

Atas hasil FDD dan LDD tersebut, BPPN kemudian mengirimkan surat yang intinya mengatakan Sjamsul telah melakukan misrepresentasi dan meminta menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN tersebut. Namun Sjamsul menolak.

Selanjutnya pada Oktober 2003, agar rencana penghapusbukuan piutang petambak Dipasena bisa berjalan, maka dilakukan rapat antara BPPN dan Pihak Sjamsul yang diwakili Itjih Nursalim serta pihak lain. Pada rapat tersebut Itjih menyampaikan Sjamsul tidak melakukan misrepresentasi.

Kemudian pada bulan Februari 2004, dilakukan rapat kabinet terbatas (Ratas) yang intinya BPPN melaporkan dan meminta pada Presiden RI agar terhadap sisa utang petani tambak dilakukan write off (dihapusbukukan) namun tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari Sjamsul. Ratas tersebut tidak memberika keputusan atau tidak ada persetujuan terhadap usulan write off dari BPPN.

“Setelah melalui beberapa proses, meskipun Ratas tidak memberikan persetujuan, namun pada 12 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung dan ITN menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir yang pada pokoknya berisikan pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur di MSAA,” paparnya.

Tak hanya itu, pada 26 April 2004, Syafruddin juga menandatangani surat mengenai Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul. Hal ini mengakibatkan hak tagih atas utang petambak Dipasena menjadi hilang atau hapus.

Pada 30 April 2004, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisikan hak tagih utang petambak PT DCD dan PT WM yang kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA). Pada tanggal 24 Mei 2007 PPA melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp 220 miliar.

“Padahal nilai kewajiban SJN yang seharusnya diterima negara adalah Rp 4,8 triliun. Sehingga, diduga kerugian Keuangan Negara yang terjadi adalah sebesar Rp 4,58 triliun,” tegasnya.

Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Sjamsul dan Itjih disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Sumber: Suara Pembaruan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *