Oleh : Laurensia Avrilia Alexandria Putry.
Kasus pelecehan seksual di dunia pendidikan dan tempat kerja seperti hal yang lumrah.
Kasus yang muncul di permukaan hanya sedikit dan banyak kasus tidak pernah terbuka sama sekali.
Hal ini disebabkan kultur budaya di Indonesia bahwa kasus pelecehan seksual adalah aib dan akhirnya korban tidak berani untuk terbuka dan membawa kasus ini ke ranah hukum.
Memang, rata-rata korban pelecehan seksual adalah wanita, namun tidak dapat dipungkiri, bahwa pria juga ada yang mengalami pelecehan seksual.
Pelaku pelecehan terhadap pria ataupun wanita ini dapat dilakukan oleh lawan jenis korban ataupun sesama jenis.
Pelecehan seksual akan menimbulkan dampak, baik bagi korban maupun organisasi.
Dampak bagi Korban :
Dampak yang diitimbulkan pelecehan seksual terhadap korban, tidak hanya pada fisik korban, namun juga pada kondisi psikologis korban.
Korban akan mengalami rasa tidak aman dan tidak nyaman, takut, terintimidasi, merasa direndahkan martabatnya.
Selain itu, korban juga akan merasa malu, tidak berdaya dan tidak percaya diri dalam kehidupannya sehari-hari.
Dalam kegiatan belajar, mengajar, dan pekerjaan, korban tidak fokus bekerja dan mengalami penurunan kinerja.
Kondisi ini tidak akan sembuh sendiri, dan proses pemulihan trauma fisik dan trauma mental korban akan berlangsung lama bahkan bisa seumur hidup.
Trauma yang sering dialami korban tersebut adalah depresi dan Sindrom trauma perkosaan (Rape Trauma Syndrome/RTS).
Proses pemulihan juga tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang melainkan harus dilakukan oleh profesional seperti psikolog dan/atau psikiater.
Dampak bagi Organisasi:
Jika para pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan tidak memperhatikan masalah ini secara serius, maka akan terjadi konflik internal yang lebih besar seperti penurunan pencapaian visi, misi, tugas dan fungsi organisasi dan membuat penurunan nama baik Kementerian Keuangan selaku instansi pelayanan publik.
Fenomena Speak Up di Media Sosial:
Terjadinya fenomena Speak Up di media sosial akibat korban tidak memiliki rasa aman untuk mengadu di dunia nyata.
Korban kekerasan seksual akhirnya memilih untuk mengadu di dunia maya, salah satunya adalah media sosial.
Untuk menyamarkan identitas mereka, mereka pun menggunakan akun anonymous, dimana para korban kekerasan seksual mulai menulis cuitan atas kejadian kekerasan yang dialaminya.
Di satu sisi, awareness atau kesadaran tentang pentingnya isu kekerasan seksual semakin meningkat, namun di sisi lain terjadi perkembangan “ketidakpercayaan” masyarakat terhadap penegak hukum.
Berdasarkan pengertian menurut R. Soesilo tersebut berarti segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul.
Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harassment yang dikatakan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David Gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai “imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments”.
Lalu, menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban.
Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual.
Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar.
Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.
Jenis-jenis Pelecehan Seksual
Masih bersumber dari Komnas Perempuan, setidaknya terdapat 15 bentuk kekerasan seksual, antara lain:
perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual,eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa;
perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung
pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Jerat Hukum Pelecehan Seksual dalam KUHP
Kemudian, pada dasarnya dalam hukum pidana di Indonesia tidak dikenal istilah pelecehan seksual, melainkan istilah perbuatan cabul dan kejahatan terhadap kesusilaan/tindak pidana kesusilaan.
Perbuatan tersebut diatur dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada tahun 2026, sebagai berikut:
KUHP UU 1/2023
Pasal 281
Diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta:
barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;
barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.
Pasal 406
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta setiap orang yang:
a. melanggar kesusilaan di muka umum; atau
b. melanggar kesusilaan di muka orang lain yang hadir tanpa kemauan orang yang hadir tersebut.
Penjelasan Pasal 406 huruf a
Yang dimaksud dengan “melanggar kesusilaan” adalah melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan.
Pasal 289
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Pasal 414
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:
a. di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta
b. secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun; atau
c. yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
(2) Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Pasal 290
Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun:
barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum 15 tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;
barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum 15 tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
Pasal 415
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun, setiap orang yang:
a. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui orang tersebut pingsan atau tidak berdaya; atau
b. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga anak.
Penjelasan Pasal 415
Yang dimaksud dengan “perbuatan cabul” adalah kontak seksual yang berkaitan dengan nafsu birahi, kecuali perkosaan.
Pasal 291
Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun;
Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun.
Pasal 416
Jika salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 dan Pasal 415 mengakibatkan luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
Jika salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 dan Pasal 415 mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
Pasal 292
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Pasal 293
Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah-lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing 9 bulan dan 12 bulan.
Pasal 417
Setiap orang yang memberi atau berjanji akan memberi hadiah menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan penyesatan menggerakkan orang yang diketahui atau patut diduga anak, untuk melakukan perbuatan cabul atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Penjelasan Pasal 417
Tindak pidana dalam ketentuan ini adalah perbuatan menggerakkan seseorang yang belum dewasa, belum kawin, dan berkelakuan baik untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengannya atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul.
Pasal 294
(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama:
pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya,
pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.
Pasal 418
1. Setiap orang yang melakukan percabulan dengan anak kandung, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang dipercayakan padanya untuk diasuh atau dididik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
2. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun:
a. Pejabat yang melakukan percabulan dengan bawahannya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga; atau
b. dokter, guru, pegawai, pengurus, atau petugas pada Lembaga pemasyarakatan, lembaga negara, tempat latihan karya, rumah pendidikan, rumah yatim dan/atau piatu, rumah sakit jiwa, atau panti sosial yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke lembaga, rumah, atau panti tersebut.
Penjelasan Pasal 418 ayat (1)
Tindak pidana yang diatur dalam ketentuan ini dikenal dengan inses.
Pasal 295
(1) Diancam:
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;
dengan pidana penjara paling lama 4 tahun barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.
Pasal 419
Setiap orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain berbuat cabul atau bersetubuh dengan orang yang diketahui atau patut diduga anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap anak kandung, anak tiri, anak angkat, atau anak di bawah pengawasannya yang dipercayakan padanya untuk diasuh, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Pasal 296
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp15 juta.
Pasal 420
Setiap orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain melakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun.
Pasal 421
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419 atau Pasal 420 dilakukan sebagai kebiasaan atau untuk menarik keuntungan sebagai mata pencaharian pidananya dapat ditambah 1/3.
Penjelasan Pasal 421
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberantas tempat pelacuran.
Pasal 422
Setiap orang yang menggerakkan, membawa, menempatkan, atau menyerahkan anak kepada orang lain untuk melakukan percabulan, pelacuran, atau perbuatan melanggar kesusilaan lainnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menjanjikan anak memperoleh pekerjaan atau janji lainnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.
Penjelasan Pasal 422
Termasuk Tindak Pidana ini adalah mengirimkan laki-laki atau perempuan yang belum dewasa itu ke daerah lain
atau ke luar negeri guna melakukan pelacuran atau perbuatan lain yang melanggar kesusilaan
Pasal 423
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 sampai dengan Pasal 422 merupakan tindak pidana kekerasan seksual.
Jadi, pelaku pelecehan seksual dapat dijerat dengan menggunakan pasal percabulan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 s.d. 296 KUHP atau Pasal 406 s.d. 423 UU 1/2023 dengan tetap memperhatikan ketentuan unsur-unsur perbuatan tindak pidana masing-masing.
Jika bukti-bukti dirasa cukup, penuntut umum akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan.
Selengkapnya mengenai pasal-pasal kejahatan terhadap kesusilaan dapat Anda baca dalam Bab XIV KUHP dan Bab XV UU 1/2023.
Jerat Hukum Pelecehan Seksual dalam UU TPKS
Dalam UU TPKS, pelecehan seksual adalah salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang terdiri atas pelecehan seksual fisik dan pelecehan seksual non-fisik, sebagai berikut:
Pelecehan seksual non-fisik adalah perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya.
Adapun contoh perbuatan seksual secara nonfisik adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.
Lalu, berdasarkan Pasal 5 UU TPKS, orang yang melakukan pelecehan seksual non-fisik bisa dipidana penjara maksimal 9 bulan dan/atau denda maksimal Rp10 juta.
Pelecehan seksual fisik terdiri dari tiga bentuk yaitu:
Perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya.
Menurut Pasal 6a UU TPKS, orang yang melakukan perbuatan ini dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp50 juta.
Perbuatan seksual fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan.
Orang yang melakukan perbuatan ini berpotensi dipidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp30 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 6b UU TPKS.
Penyalahgunaan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau orang lain.
Menurut Pasal 6c UU TPKS, perbuatan ini dapat dipidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp300 juta.
Sebagai informasi, jika merujuk pada asas lex specialis derogat legi generali, maka ketentuan yang berlaku adalah UU TPKS karena merupakan peraturan yang secara khusus mengatur tentang pelecehan seksual.
Walau demikian, dalam praktiknya penyidik dapat mengenakan pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur pelecehan seksual sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU 1/2023 serta UU TPKS. Artinya, jika unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penyidik dapat menggunakan pasal-pasal tersebut.
Pembuktian Pelecehan Seksual
Menjawab pertanyaan Anda terkait pembuktian pelecehan seksual, pembuktian pelecehan seksual dalam hukum pidana adalah berdasarkan Pasal 184 KUHAP, menggunakan 5 macam alat bukti, yaitu:
keterangan saksi;
keterangan ahli;
surat;
petunjuk;
keterangan terdakwa.
Baca juga: Alat Bukti Sah Menurut Pasal 184 KUHAP
Terkait saksi, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK 65/2010 memperluas makna definisi saksi dalam KUHAP, sehingga yang dimaksud dengan saksi termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (hal. 92).
Sehingga, dalam hal terjadi pelecehan seksual, bukti-bukti tersebut di atas dapat digunakan sebagai alat bukti.
Untuk kasus terkait percabulan atau perkosaan, biasanya menggunakan salah satu alat buktinya berupa Visum et Repertum.
Menurut Kamus Hukum oleh J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin dan J.T. Prasetyo, Visum et Repertum adalah surat keterangan/laporan dari seorang ahli mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu, misalnya terhadap mayat dan lain-lain dan ini dipergunakan untuk pembuktian di pengadilan.
Meninjau pada definisi di atas, maka Visum et Repertum dapat digunakan sebagai alat bukti surat, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 huruf c KUHAP.
Penggunaan Visum et Repertum sebagai alat bukti, diatur juga dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Apabila visum memang tidak menunjukkan adanya tanda kekerasan, maka sebaiknya dicari alat bukti lain yang bisa membuktikan tindak pidana tersebut.
Pada akhirnya, hakim yang akan memutus apakah terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan pembuktian di pengadilan.