JAKARTA (Kontroversinews.com) – Dua belas bulan, 366 hari sudah dr. Reisa Broto Asmoro bertugas sebagai juru bicara Covid-19. Ia belajar bahwa setiap orang punya cerita yang berbeda dalam bersinggungan dengan COVID-19.
“Ada banyak masa berduka dan banyak lagi orang memiliki kisah lebih sedih dari yang saya alami. Memang sekilas, tidak ada yang baik tentang pandemi ini. Meski, saya bersyukur kepada Tuhan karena telah mampu melewati setahun yang tidak mudah ini, tetapi jujur saja, jika waktu boleh diulang, saya lebih suka menghindari pandemi. Saya lebih memilih mencari cara mencegahnya terjadi,” kata dr. Reisa.
Ratusan tenaga kesehatan yang telah gugur, di mana sebagiannya adalah kolega dan guru sesama dokter, menyisakan kehilangan baginya.
“Kehilangan yang luar biasa yang sampai saat ini masih saya rasakan. Tentunya juga gugurnya para pejuang ini jadalah kerugian negara. Dalam rangka menjadi dokter, di Indonesia, seseorang harus menghabiskan setidaknya enam tahun belajar. Belum lagi serangkaian Pendidikan spesialis, pasca sarjana, berbagai kursus, dan pemenuhan kualifikasi akademik lainnya yang harus mereka lalui untuk dapat disebut ahli di bidangnya,” kata dr. Reisa. Mencetak dokter-dokter berikutnya, menurutnya, bukanlah perjalanan singkat.
dr. Reisa juga menyinggung banyaknya inisiatif berdasarkan solidaritas tinggi yang menulari berbagai
kelompok di seluruh Indonesia. Masyarakat saling membantu bukan saja pasien Covid-19, tetapi juga membantu mereka yang terkena dampak krisis ekonomi.
“Inisiatif Desa Tangguh dan Jogo Tonggo adalah contoh virus baik yang menular. Inisiatif yang
secara harfiah berarti menjaga tetangga Anda adalah inspirasi Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyrakat berskala Mikro (PPKM Mikro). Dengan sebutan yang bervariasi di 34 provinsi, semangat yang sama untuk saling peduli dan mengawasi, atau bahkan saling merawat anggota masyarakat membutuhkan telah meluas di seluruh pelosok negeri,” ungkap dr. Reisa.
Ia juga memaparkan beberapa upaya pemerintah yang terus mencari cara untuk mencegah lebih banyak kematian dan memastikan masyarakat semakin aman dari ancaman virus.
Kapasitas pengujian sampel (testing) telah meningkat dari 10 ribu menjadi lebih dari 50.000 sampel setiap hari. Jumlah laboratorium telah berkembang menjadi sekitar 800 laboratorium di seluruh negeri.
Peningkatan tersebut, menurutnya, dimungkinkan dengan dukungan dari puluhan ribu tracers atau petugas pelacak kasus yang merupakan gabungan dari tenaga Kesehatan, dan polisi dan prajurit TNI.
“Ribuan relawan juga direkrut dan dilatih untuk mendukung tracing, dan berbagai tugas yang biasa diemban tenaga Kesehatan. Mereka bertugas mulai dari penyedia layanan kesehatan tingkat terendah, seperti puskesmas sampai dengan di rumah sakit-rumah sakit rujukan,” tulis dr. Reisa.
Sejak Januari 2021, pemerintah memiliki hampir 1000 rumah sakit rujukan, 10 kali lebih banyak daripada kondisi di fase awal pandemi. Selain rumah sakit, Kementerian Kesehatan telah menambah lebih dari 8500 tenaga kesehatan untuk memperkuat pelayan Kesehatan saat ini. Pasukan tambahan ini terdiri dari dokter umum, spesialis, perawat dan staf pendukung lainnya.
Namun, harus juga diingat bahwa pandemi tidak hanya mempengaruhi mereka yang tertular. Menurut dr. Reisa, yang berdiam diri di rumah, rajin memakai masker dan cuci tangan pakai sabun sesuai anjuran juga tetap terdampak.
“Kesulitan ekonomi melanda keluarga Indonesia ditambah dengan tantangan psikologis baru membantu anak-anak belajar online sambil berkerja secara daring. Dengan segala keterbatasan akses ke sekolah dan perubahan pola perilaku hidup, termasuk berubahnya pola asupan gizi, anak-anak dan populasi rentan lainnya juga dihadapkan dengan risiko kesehatan lainnya diluar Covid-19,” sambungnya.
Maka, risiko peningkatan kasus anak dengan gizi buruk, stunting dan masalah kesehatan mental akan bermunculan apabila kita biarkan.
Memasuki bulan keenam sejak program vaksinasi digulirkan, masyarakat Indonesia mengantre di pos dan sentra vaksinasi.
“Tidak hanya mengantre untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mendampingi lansia, guru, dan tokoh agama divaksinasi. Mobil, bus, ojek online, dan bahkan becak, digunakan untuk mengangkut lansia menemui petugas vaksinasi,” ungkap dr. Reisa.
Menurutnya, beginilah cara orang Indonesia mempersonifikasikan ungkapan, “tidak ada yang aman sampai semua orang aman (no one is safe until everyone is safe).”
Masyarakat Indonesia adalah salah satu yang beruntung. Lebih dari 90 juta dosis Coronavac dari Sinovac, AstraZeneca dari Covax dan Sinopharm telah mendarat di bandara Soekarno Hatta dan sudah disuntikkan ke lebih dari dua puluh juta orang Indonesia.
Dan kabar baiknya tidak berhenti di situ, berbagai perguruan tinggi berkomitmen mengembangkan Vaksin Merah Putih dalam rangka menguatkan kemandirian.
Mengutip dari Tribunnews.com, para ilmuwan dari Lembaga Molekuler Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjajaran kini tengah berlomba mengembangkan vaksin produksi Indonesia.
“Pandemi mungkin sedikit melemahkan kita, tetapi juga telah menunjukkan resiliensi dan ketangguhan kita. Itulah hikmah dari serangkaian kegiatan komunikasi saya kepada public sebagai jubir—bahwa bukan angka dan statistik yang paling penting, melainkan orang-orang, kisah ketangguhan manusia Indonesia adalah yang paling utama,” pungkas dr. Reisa.***AS