Kontroersinews.com – Pelestarian wastra telah sepatutnya diwujudkan demi menjaga salah satu kekayaan budaya Nusantara. Begitu pula semangat memperkuat ekosistem kain dari daerah Batak Toba yang juga dikenal dengan sebutan ulos.
Spirit ini tercermin dari PT Toba Tenun Sejahtera yang mengupayakan revitalisasi kain ulos. Tobatenun, begitu platform ini akrab disapa, turut mengedepankan isu pemberdayaan perempuan dan pengembangan komunitas perajin kain tenun di Sumatera Utara.
Founder dan CEO PT Toba Tenun Sejahtra Kerri na Basari menyampaikan pihaknya mendorong revitasisasi wastra Nusantara, khususnya beberapa yang telah langkah dan bisa dikatakan hampir punah. Ini juga beriringan dengan memperkuat ekosistem di baliknya, terutama pelaku dan perajin yang kerap terlupakan dalam usaha melestarikan budaya.
“Kami percaya dengan pelestarian budaya harus jalan bersamaan dengan upaya perubahan sosial dan mengerti keseimbangan antara modernisasi dan budaya diperlukan untuk kebaikan masa depan,” kata Kerri dalam konferensi pers daring, Jumat, 24 September 2021.
Kerri menambahkan, pihaknya menyadari isu sistematis yang ada di antara pelaku dan perajin wastra. Mulai dari adanya kemiskinan, eksploitasi oleh pengepul, tidak menerima upah yang layak, dan isu sosial lain yang kompleks yang datang dari kemiskinan.
“Maka dari itu, Tobatenun dekat dengan nila-nilai social enterprise dan sustainable development,” tambahnya.
Dikatakan Kerri, pihaknya ingin mengembalikan budaya wastra ke akarnya menggunakan material alam, serat, atau pun pewarnaan, maupun teknik yang banyak hilang dan hampir punah. Sejalan dengan itu, ada pula upaya peningkatan sosial ekonomi pelaku seni daerah.
“Yang dekat di hati kami adalah pendekatan pelestarian dan revitalisasi budaya dari perspektif gender atau sejalan dengan upaya pemberdayaan perempuan. Kami tidak bicara tentang wastra tanpa bicara tentang isu perempuan yang sebenarnya pelaku di balik wastra yang 90 persen adalah perempuan,” tuturnya.
Menurut Kerri, isu perempuan berjalan sangat dekat dengan isu-isu yang dihadapi oleh wastra Indonesia ke depan. Pihaknya juga tertarik mengusung isu kontemporer dan mengembangkannya dengan heritage karena modernisasi itu baik, namun tetap mencari keseimbangan antara keduanya.
“Ulos itu yang memegang, membuat, dan memberikan harapan adalah perempuan-perempuan di baliknya yang sering sekali menjadi second class citizen,” kata Kerri.
“Itulah pentingnya mengusung isu pemberdayaan karena tanpa perempuan di balik ini yang mengkreasi alat-alat adat ataupun budaya tersebut, budaya itu juga akan punah kalau kita tidak mengingat kalau yang selama ini menjaga warisan budaya tersebut adalah perempuan batak atau perempuan Indonesia,” tambahnya.
Tobatenun juga mengadakan lokakarya untuk para penenun yang tak hanya bicara soal teknis menenun yang lebih dalam, namun juga fokus dengan soft skill. Fokus tersebut diarahkan kepada isu perempuan, konseling KDRT, isu reproduktif, juga isu kesehatan seperti fisioterapi.
“Karena isu yang selalu saya dengar dari penenun adalah mereka selalu pegal di pinggang. Kita mengajari stretching, walaupun hal yang mungkin tidak terpikirkan tapi sudah jadi impact ke kehidupan sehari-hari,” tambah Kerri.***
Sumber: Liputan6